Suka Duka PPL

09.05 Impian Nopitasari 0 Comments


Numpang curhat ya temans, maaf harus menjadikan kalian korban curhatan absurdku ini, jiah.
Bangun tidur kuterus ngetik, anggap saja aku sedang ngobrol bersama kalian. Nggak ada yang kuajak cerita di sini. Kalau sama anak-anak PPL paling cerita mereka juga sama. Jadi merek males dengerin aku.
Hari ini aku habis marah-marah di kelas, satu jam pelajaran Cuma kuhabiskan untuk ceramah. Entahlah apa hari ini sajen di kelasku kurang atau aku lupa membaca ayat kursi, semua serba tak terkendali. Sampai nangis aku, bukan nangis batin lagi, udah benar-benar nangis ngis ngis.
***
Cerita dulu, PPL tahun ini aku ditempatkan di sebuah sekolah menengah pertama bernama SMP N 2 Sawit, Boyolali. Yah, setengah jam dari kampusku. Sepertinya sih dekat ya, dekat kota, Solo lagi, tapi jangan salah, tampilan bisa menipu.
Untuk gedung ya memang gak jelek-jelek banget, Cuma sempit, kata guru pamongku malah lebih layak jadi SD Inpres daripada SMP. Kantin Cuma satu di belakang kamar mandi. Pertama syok sih, pantes pas pertama kali ke sini sensasi baunya selang-seling. Seng….. soto…. Seng…kamar mandi. Yah begitulah. Eh tapi lama-lama mau gak mau aku juga makan di situ. Soto satu mangkok, tempe satu, plus es the Cuma 2000 rupiah cin! Suruh nraktir murid satu kelas pun oke-oke saja. Enak lho soto sewu-nya itu.
Karena background-ku pecinta buku dan sempat kerja di perpus, tentu saja bangunan itu tak akan kulewatkan. Gedung sebenarnya bagus, tapiiiiii….. eng ing eng… susunan bukunya semrawut! Gak ada yang namanya klasifikasi buku. Mau buku paket, novel, buku masak-masakan, teknologi semuanya nyampur seperti gado-gado. Gado-gado sih enak ya, tapi kalau buku? Lah gimana mau ngajak anak mencintai buku kalau keadaan bukunya sudah bikin pusing.
Tambah syok lagi ketika aku ingin membaca koran. Koran yang di meja memang baru, tapi sedang dibaca orang, ya aku nyari yang lainnya dong, paling juga koran-koran kemarin kan, gak lama-lama banget. Tapi sepertinya aku terlalu berkhuznuzon, koran yang disampirkan itu bertahun 2011. Awal-awal bulan lagi. Duh biyuuungg…help me, aku bisa gila di sini.
Karena tak tahan dengan keadaan ini, aku dan temanku berinisiatif menata rak buku. Satu rak dulu lah, setidaknya buku paket itu bisa rapi dan terklasifikasi. Mungkin di situ aku orang yang paling banyak komentar, cerewet abis. Yah, mau gimana lagi, aku gak tahan lihat buku gak teratur gitu. Alhamdulillah sampai pulang kita berhasil menata satu rak. Satu rak itu pun sudah banyak makan korban, seperti baju temanku yang robek karena kecantol rak dan aku yang flu sampai sekarang karena debunya banyak. Kelihatan gak dirawat banget. teman-temanku yang lain gak nggagas hal ini. Tapi aku sudah bilang ini akan kumasukkan program PPL. Pokoknya keluar dari sekolah ini gak ada lagi buku gado-gado. Mungkin memang sudah takdirku sebagai penyelamat perpus *eh.
Sempat kutanyakan kepada tugas perpus, kenapa nggak ada klasifikasi buku. Jawabannya diplomatis
“Nanti juga bakalan diorak-arik sama anak-anak lagi mbak,”
Hello.. terus tugas anda-anda ini ngapain Pak, Bu?
Tiba-tiba aku teringat jaman SMP dan SMA di Grobogan sana. Grobogan yang kebanyakan gak dikenal dan dianggap ndeso ternyata lebih dan lebih canggih daripada kota yang dekat dengan Solo ini. Dulu sudah ada kartu anggota perpus dan kartu peminjam, klasifikasi bukunya oke. Pokoknya di perpus itu betaaahhh banget. Apalagi jaman SMA, perpusnya lebih enak lagi. model minjamnya sudah pakai scanner, koleksi bukunya banyak. Aku mengenal novel-novel fiksi juga dari perpus SMA ku itu. Seperti laskar pelangi dan buku-buku Tere Liye. Belum lagi ruangannya yang ber-AC., TV LCD. Pantas saja perpusku masuk 5 besar perpus terbaik se-propinsi, dan itu ada di Grobogan.
Lepas dari itu semua sekolah tempat aku PPL ini mempunyai guru-guru yang super baik bak malaikat. Kepala sekolahnya juga enak banget, mau duduk bareng sharing dengan anak-anak PPL. Jarang sekali ada kepala sekolah seperti itu. Sampai satpam, tukang kebon, ibu kantin pun baik. Sangat njawani dan ngajeni (menghormati) anak-anak PPL.
Dihuni oleh guru-guru bak malaikat bukan berarti murid-muridnya seperti malaikat juga. Mereka ituu… hell boy and hell girl. Ya nggak semua sih, tapi banyak yang nakal sih, jadi ya yang baik nggak kelihatan. Pertama penyerahan ke sekolah ini kepala sekolah sampai pak satpam sudah memberi alarm.
“Harap sabar ya Mbak dan Mas, murid di sini jauh dari yang anda bayangkan,”
Kalimat yang membuatku ketar-ketir. Apalagi kalau dengar ceritanya kakak tingkat yang PPL di sini. Sarannya sama, kita harus sabar. Sebenarnya ada apa coba? Hem hem…
Pertama kali observasi kelas aku jadi tahu alasan pak kepsek memberi alarm. Haduh ibu.. ini kelas apa medan perang. Ada guru di depan tapi kelakuan seperti kaum bar-bar. Mending ya kalau mereka itu pintar. Baru kusadari SDM murid di sekolah ini rendah, benar seperti apa yang dikatakan guru-guru di sini. Percaya nggak kelas 2 SMP nggak hafal angka 1-10 dalam bahasa inggris? Nggak hafal hari? Murid TK ku aja 1-20 hafal! Apalagi Cuma hari dan bulan. Satu semester mengajar di TK jelas nggak bisa jadi pembanding. Tapi itu lah kenyataannya. Kosa kata pun hampir belum menguasai. Contoh sederhana kata “difficult” aja nggak ngerti. Ah jangan jauh-jauh ke difficult. 5 W+1 H aja nggak tahu artinya. Nggak lucu banget deh harus nerangin lagi apa arti what, who, when, where, why dan how. Tapi aku ngelakuin itu. Aku jadi membandingkan lagi, jaman SMP ku nun jauh di Grobogan sana murid-muridnya nggak kayak gini sob, itu 7 tahun yang lalu lho. Belum kenal internet waktu itu. Dan sekarang aku Boyolali yang dekat dengan Solo, harusnya mereka bisa lebih dari jamanku.
Menugaskan mencari materi di internet pun susah mereka pahami. Google itu apa bu? Gubrakk.. aku pikir aku sudah benar mengucapkan kata Google di sini, aku pikir aku salah jika mengucapkan goole di pedalaman Papua sana. Haii… ini Boyolali, Jawa Tengah, dekat Solo lagi. Ternyata aku masih salah juga. Kill me beb….
Oke, nggak masalah kalau kendala mereka di materi pelajaran, asal sikapnya manut-manut. Manut? Mimpi kali ye di sekolah ini menjumpai murid yang manut. Kami harus ekstra sabar jika menjelaskan sesuatu. Nggak bakal didengarkan dengan serius. 5x menjelaskan pun kadang masih aja bertanya “Bu, ini suruh ngapain sih?,” makanya jangan ramai aja, heuu…
Suasana di kelas seperti di sinetron alay and uneducated pokoe. Mungkin ini karena efek tontonan yang nggak mendidik itu. Dari yang ngerjain temen, kursi dikasih lem, sampai melempar guru dengan kertas atau kalau apes dijepret karet. Aku mengalaminya, apalagi aku Cuma guru PPL, udah nggak ada harganya deh.
“Kamusnya kenapa tidak dibawa sayang,” tanyaku lemah lembut penuh kasih sayang.
“Masalah buat elo?,” jawabnya dengan muka nyebelin.
Terus gue harus ngelempar kamus sampai guling-guling gitu? Nggak mungkin kan? Atau aku keluar aja, nanti kalau ditanya “Kenapa nggak ngajar Bu?,” akan kujawab “Masalah buat elo?,”. Terus apa bedanya dong aku sama mereka?
“Nah, ternyata gampang kan bahasa Inggris itu?,” kataku dengan niat memotivasi.
“Terus gue harus bilang wow gitu?,” jawaban dari niat motivasi itu.
Sepanjang pelajaran mereka nggak mau duduk manis. Lari sana-sini, keluar masuk tanpa ijin. Nggak mau dengerin tapi kalau ditanya nggak bisa. Suruh maju nulis malah jadi gaduh, coret-coretan spidol sama temennya, duduk di kursi guru. Jawaban teman dihapus. Sampai temanku yang observasi turun tangan, harusnya dia nggak boleh ikut campur dan Cuma mengamati. Tapi karena melihat aku dibully seperti itu, keluar deh sifat aslinya sebagai anak Mapala.
Aku menggebrak papan tulis. Asal tahu saja, aku keren bisa seperti ini. Aku kan biasanya nggak bisa marah. Sejam kugunakan untuk ceramah tok. Kubilang ke mereka untuk ingat orang tuanya yang susah payah nyekolahin. Sudah tahu kalau yang sekolah di sini anak menengah ke bawah, bisa-bisanya mereka nggak menghargai orang tuanya. Jam segitu yang petani masih panas-panas di sawah, yang buruh pabrik masih berjibaku dengan kerjaannya, yang jualan di pasar masih susah cari duit, semua itu kan buat anaknya. Emang bisa mereka cari duit? Mereka kan masih minta. PD banget balesannya seperti itu. Ah, mereka belum bisa diajak berpikir seperti itu. Nanti lah kalau mereka merasakan bagaimana sakit hatinya dicuekin saat kita sedang berbicara. Hukum timbal balik berlaku lho *ngancaaam..
Itu sih masih mending banget banget. separah-parahnya kelas VIII masih parah kelas VII. Untung aku nggak ngampu kelas VII. Banyak lagi kata-kata yang seharusnya nggak pantas mereka ucapkan untuk seusia dan status mereka sebagai pelajar. Ini terjadi di kelas VII, masih ada bau SD nya.
Percaya nggak kalau anak SMP berkata seperti ini?
“Bu, M* yukk,”
“Awas lho bu, tak so*d*m* nanti!,”
“Dasar guru baj*ng*n,”
Astaghfirullah.. ibuku aja nggak percaya, maklum adat di desaku itu anak desa manut-manut. Ini sih kelainan buk, sudah terkontaminasi.
Nggak heran juga kalau ada guru yang sampai tega menghukum fisik, keadaan di lapangan emang horror gitu sih. Mungkin saking jengkelnya. Tapi pasti yang disalahin mesti gurunya, aturannya kan anak gak boleh disalahkan. Orang tua pasti juga marah-marah. Nggak tahu aja kelakuan anaknya gimana di sekolah. Dilema jadi guru…
Entahlah keadaan sempat ini membuatku tertekan. Sudah gila tiap malam dengan RPP dan media, sudah nggak kehitung uang buat fotokopi dan ngeprint, sampai sekolah kertas materi fotokopi dan vocab card yang sudah kubuat dengan kasih sayang bermutasi menjadi pesawat terbang yang sengaja diarahkan padaku. Mereka itu sebenarnya kreatif, tapi salah tempat. Seminggu aku hampir nggak nafsu makan. Minum susu aja kalau sempat. Sampai aku memotong rambutku sendiri *ekstrim, gila banget. Yah, aku berfikir aku belum berhasil menjadi guru, aku belum menjadi guru yang menyenangkan, kenapa temanku bisa mengendalikan kelas sedangkan aku tidak? Frustasi banget. Nggak keluar kamar, nggak nulis, nggak ngerjain skripsi, males kuliah, nggak kerja. Lebay banget ya, entahlah. Mungkin aku belum ikhlas melakukannya. Intropeksi diri, dan aku harus berusaha untuk lebih baik lagi!
Tapi aku bersyukur juga ditempatkan di sekolah yang “sesuatu banget” seperti tempat PPL ku ini. Challenging banget. Ketika teman-teman yang lain mendapat tempat PPL di sekolah bonafit, full fasilitas, wi-fi an sesuka hati, ngajar pakai LCD, aku harus sekreatif mungkin dalam membuat media mengajar. Nggak ada LCD, kertas pun jadi. Aku nggak boleh bawa-bawa sifat sedikit-sedikit power point, sedikit-sedikit LCD. Guru harus bisa mengajar di mana saja dan apapun keadaannya. Iya nanti kalau takdir menempatkan kita di sekolah favorit, kalau tiba-tiba dilempar di pelosok Kalimantan, NTT, Papua, dsb? Masa iya mau ngajar di hutan pakai LCD? Keadaan ini membuatku berpikir, betapa mulianya para relawan mengajar di sana. Aku nggak ada apa-apanya di sini. Jauuuhh banget.
Ketika teman-teman lain mendapat murid-murid yang pintar, gampang, manut, aku di sini harus berusaha membuat mereka beradab lebih dahulu. Aku sebagai guru nggak hanya mengajar, tapi juga mendidik. Di sini aku diberi kesempatan untuk mendidik. Aku percaya, mereka nggak nakal, hanya kurang bimbingan. Mereka nggak bodoh, hanya kurang motivasi. Di sini aku belajar menjadi “sesuatu” buat mereka. Walau terkadang motivasi ku pun naik turun. Tapi melihat mereka memakai seragam seperti itu, seperti ada tanggung jawab yang besar di pundakku, membuka lebar mataku bahwa kita nggak bisa menyamaratakan kemampuan peserta didik di seluruh negeri. Ah tapi kebijakan orang-orang yang di atas sana sungguh menyebalkan. Target lulus UN 100% bagaimanapun keadaannya. Nah, ini kan membuat orang mengahalalkan segalan cara. Siswa di Jakarta nggak sama seperti di Boyolali, nggak sama seperti di pedalaman Nias, nggak sama seperti di Yampen warompen. Mana mungkin orang-orang itu peduli? Kalau sekolahnya nggak bisa meluluskan 100% kepala sekolah atau guru yang dimutasi. Apa salah mereka coba? Lha wong keadaan di lapangan juga susah begitu. Pendidikan di Indonesia memang masih belum imbang.
Aku senang punya teman-teman yang bisa buatku ketawa. Walau sebagian dari mereka belum kutemui, ada Eva yang gak bosen sms memotivasi aku, ada mbak Valin yang gak bosen nerima curhatan nggak pentingku, ada Mas Mono yang suka sms gak jelas, dan parahnya aku ikutan nggak jelas juga. Sewaktu membuka twitter banyak juga twit dari teman yang buatku ketawa, di FB ngakak-ngakak nggak jelas lihat status detik.com-nya mas Chogah sama Ayka. Geleng-geleng kepala dengan narsisnya mas Mono, coverboy STODY. Senyum sendiri membaca 4 anggota geng penulis narsis, walau aku nggak ikutan komen. Ada juga Ayu yang percikannya dimuat lagi di Gadis *siap-siap memalak. Dia yang suka nraktir orang, sedikit meluapakn stress. Haha tengkyu Ayu. Teman-teman seperjuangan PPL, terutama tukang ojeg-ku, Luph U Heni. bersyukur juga masih dapat charger motivasi dari guru-guruku, ustadz ustadzahku ketika aku futur. Dan tentunya doa dari orang tuaku di kampung sana yang tak henti-hentinya. Telepon dari mereka membuatku kuat. Juga dari masku yang gak lupa selalu menanyakan kabarku dan mendoakan dan tentu yang paling penting sering ngasih uang. Hahaha. Dan semua yang tak bisa kusebutkan di sini, nanti jadi panjang seperti persembahan skripsi.
Terima kasih sudah menyempatkan membaca curhatan absurdku ini, maap kalau nyampah ya *aku sedang korslet, mohon maklum.
Salam sayang dariku,
Impian Nopitasari


0 komentar: