Kisah Dua Puteri Jumper : Edisi Manjat Pagar Masjid

10.01 Impian Nopitasari 0 Comments


Aku nggak pernah mengistimewakan malam minggu. Bagiku semua hari sama saja.
Tapi sepertinya malam ini pantas untuk diistimewakan.
Berawal dari keinginanku mengikuti bedah buku seorang penulis produktif dari Solo, Bu Sanie Kuncoro di Gramedia, aku mengajak soulmateku pergi ke sana. Sebenarnya niat awal aku ingin ngontel sendiri, tapi karena aku sedang stress tingkat propinsi, ingin rasanya mengajak teman.
Dan akhirnya aku gagal total mengikuti acara bedah buku karena telat. Penyebab telat itu tiada lain kedatangan si Ayuk yang lambretttaaa. Jadi akhirnya kita hanya melihat-lihat buku di Gramedia dan sialnya itu semakin menambah penderitaan kita berdua. Menderita karena nggak bisa beli dan menderita karena belum menghasilkan karya yang layak mejeng di rak buku tersebut.
Dan yang paling membuat sesak di dada adalah bannernya mbak Dee dengan senyumnya yang “ngece” banget, seolah memamerkan buku-buku di depannya. Awas suatu hari nanti aku yang bakal mejeng di situ. Catat itu. *Ayuk saksinya.
Sambil melihat-lihat buku yang pasti tidak dibeli itu kita ngobrol ngalor ngidul tentang dunia menulis, termasuk ngobrolin ehm-penulis genre fantasi dari Madiun itu, ya sudah bagian ini tak penting, hehe.
“Mbak udah baca antologinya mas Chogah belum,” tanya Ayuk.
“Belum e, berapa yo, aku pengen beli,”
Ternyata aku tak menemukan buku itu di Gramed, stok kosong. Ya sudah akhirnya aku memutuskan untuk membeli di Toga Mas, biasanya lebih murah. Kata Ayuk sekalian magrib di masjid Kottabarat dan parkir di sana. Parkiran motor di Toga Mas naik dari Rp. 500,00 menjadi Rp. 1.500,00. Itu adalah nominal yang membuat Ayuk tak ikhlas. Mending buat ngisi kotak amal masjid katanya.
Oke, langsung saja kita menuju masjid.
Sampai di masjid, bressss… hujan turun dengan derasnya. Yang Buat Hujan sayang sama kita mungkin jadi sampai di masjid baru deh hujannya turun. Alhamdulillah masih bisa ikut jamaah. Hujan semakin turun dengan deras.
“Yuk, nyari susu segar yuk,” ajakku.
“Iya Mbak, jalan kaki aja ya,”
Kita keluar dari masjid ditemani rintik hujan demi segelas susu dan sebungkus sego kucing. Tentu Ayuk yang menjadi my guardian angel, Matamu-Mataku, seperti judul cerpen ya. intinya aku gak jelas kalau gak pakai kacamata, jadi dia yang nunjukin di mana warung susu segar berada.
Menu warung ini sangat unik. Nama warungnya pun unik. SUPERBOY, SUsu PERah BOYolali. Ada SURAMADU, COLOMADU, SUMANTO, SUHADI, TANTE SUSI dan apa lagi aku lupa yang jelas itu semua singkatan makanan. Tapi keasyikanku makan terganggu dengan beberapa oknum. Samping kiri orang pacaran, depan orang pacaran, samping kanan pun tak luput. Bikin eneg saja rasanya.
“Mbak, ternyata yang di sini pasangan semua ya,” bisik Ayuk.
“Baru nyadar to nek kita ini pasangan yang beda sendiri?” balasku.
Jiah, kemana-mana pasanganku ya kamu Yuk.
Selesai makan dan membayar bon kita langsung cabut ke Toga Mas. Tentu saja melewati masjid Kottabarat tanpa mampir untuk sholat isya’ terlebih dahulu. Dasar koplak. Jadi kita merasa aman-aman saja meninggalkan si Beat karena parkirnya di masjid.
Masuk ke Toga Mas masih saja ngiler lihat buku. Hem..hem.. apa saja yang berbau buku pasti menyesakkan jiwa dan raga jika tak bisa membelinya. Karena Ayuk lupa judul buku antologinya mas Chogah barenng Ahmad Fuadi itu, proses mencari agak lama, karena dicari di catalog gak muncul-muncul. Ini sih salah mind-set pembelinya. Mana aku gak bawa kacamata. Hadeh ternyata buku itu ada di lantai dua. Buku itu harganya Rp. 39.000,00 dapat diskon 10% jadi Rp. 35.100,00. Uang di dompet tinggal Rp. 40.000,00. Tak apalah, itung-itung perhargaan buat teman yang tulisannya mejeng di situ.
Mood-ku sempat berantakan karena tiba-tiba mendapat telepon dari “adek” ku yang tiba-tiba ngabarin kalo besok mau ikut test ke Pelembang sekalian pulang ke Bengkulu. Dia minta ditemanin makan saat itu juga sebagai farewell. Posisiku kan lagi jauhh. Ah dasar brondong, pengen tak buang ke laut aja tuh anak. Sukanya main pergi, meninggalkan kepingan hatiku yang berserakan. *bagian nggak penting, ignore.
Sepertinya sudah malam dan saatnya pulang ke kost. Dengan PeDenya kita bermaksud mengambil motor.
Jihaaaa..kejutan. GERBANG MASJID DIKUNCI.
Aku nggak berpikir sedikitpun kalau masjid ini nggak buka 24 jam. Kan ini jalan rame, gimana kalau ada orang mau mampir sholat?
Si Beat masih melambai-lambai di dalam. Kita hanya bisa melihatnya dengan merana.
“Mbak gimana dong?,” Ayuk mulai cemas.
“Periksa saja dulu di semua lini gerbang,” jawabku mencoba bijak. *padahal aslinya juga panik.
Depan, samping kanan, samping kiri. Semua terkunci.
Takmirnya pasti di dalam. Menggedor sekuat tenaga pun nggak bakal kedengeran. Aku mencoba menenangkan pikiran. Aku pernah terjebak di kamar mandi perpus yang sepi, pernah tidur di terminal gara-gara ketinggalan bus terakhir, menurutku dua kejadian itu lebih horror daripada ini.
“Mbak, kayaknya kisah kisa asyik ya kalo dijadiin cerpen,”
Pletakk… dasar Ayuk. Beginilah kalau berkawan dengan orang yang suka dengan dunia menulis. Nggak mikir solusi pulang gimana, tapi malah kepikiran membuat cerpen. Oke, sebenarnya aku pun berpikir begitu. Hehe.
Kita pun berpandang-pandangan dan memikirkan satu ide gila yang masuk akal tapi cukup memalukan.
“Serius Yuk? Wah bakalan turun derajat nih aku, oh no. Seorang Jilababer, mbak mentor, calon guru, dan pakai rok harus…,”
“Aku aja duluan mbak,” Ayuk memotong argumentku.
“Eh Mbak, sebenernya aku nggak pernah manjat lho, ini pertama kali aku manjat pagar dan.. pagar masjid lagi,”
“Yowes, kan kamu yang pakai celana. Lebih gampang. Tapi kita cari tempat yang sepi aja,”
Kita pun menunggu sepi, setidaknya sedikit orang yang lewat. Dan aksi pun dimulai.
Untung saja pagarnya nggak tinggi dan nggak ada pengamannya. Coba kalau ada pecahan kaca, kawat atau setrum misalnya,
Ayuk sukses masuk dalam dimensi yang berbeda. Dia di dalam, aku di luar.
“Kamu periksa di dalem dulu, siapa tahu ketemu takmirnya. Aku nunggu di sini aja,”
Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku. Dan hasilnya tak memuaskan. Ayuk kembali dengan tangan hampa dan harapan kosong.
“Aku nggak berani masuk Mbak, nggak ada orang, adanya tuh dapur dan kelas-kelas.”
Halah akhirnya aku harus mengingat-ingat kemampuanku jaman SMA dan sudah diakui seantero sekolah. Manjat jendela kelas kalau telat masuk. Oke, sepertinya aku harus mengulang masa lalu yang kelam itu di sini. Di pagar masjid Kottabarat.
Huft.. manjat pager dengan memakai rok sungguh bukan cara yang bijak. Tak kubayangkan ustadz Rifky melihat aksiku, pasti aku sudah dicoret dari daftar calon istrinya. *lha kok PeDe. Mana aku nanggung banget, posisi nanggung gitu ada ibu-ibu lewat naik sepeda dan pandangan matanya itu lho, sesuatu banget. Halah prinsip orang Jawa “rai gedhek” (muka tembok) harus diterapkan di sini. Hidup mulia atau mati syahid, merdeka atau mati, manjat pager atau nggak pulang.
“Mbak, gimana nih, kalau nggak bisa pulang. Besok kan aku ada acara kumpulnya jam 5 pagi,” Ayuk mulai cemas lagi.
“Ya udah tidur masjid aja. Gitu aja kok repot,” saranku.
“Haa?? Tidur masjid?? Nggak banget,”
Daripada tidur di terminal, pikirku.
Kita pun mencari-cari tanda-tanda kehidupan di sekitar masjid. Sepi. Akhirnya kita pun naik ke atas. Dan ternyata Ayuk nggak bohong. Tempatnya memang lumayan horror, ada terowongan gelap, mengingatkanku pada terowongan Casabalanca. Imajinasiku pun bergerilya kemana-mana.
Terdengar suara mas-mas. Alhamdulillah, sorakku dalam hati, kita selamat. Mas-mas itu turun dan lumayan kaget. Wajar lah, sepi-sepi gini tiba-tiba ada dua cewek imut naik ke asrama takmir.
“Mas, gerbangnya dikunci, kita nggak bisa keluar,” kataku berusaha menyadarkannya kalau kita ini manusia.
“Oh nggih Mbak, sekedhap, tak ngambil kunci,” katanya masih keheranan.
Aku dan Ayuk turun dan berniat mengambil motor. Mas itu turun membawa kunci. Seperti menyadari sesuatu yang aneh, dia pun bertanya.
“Lho Mbak, tadi masuk lewat mana?,”
Aku hanya cengar-cengir. “Hehe.. menek pager mas,” ampun dah, jujur banget, turun derajat tenan iki.
Akhirnya pintu gerbang pun terbuka.
“Suwun ya Mas,” kataku berterima kasih. Mas itu tersenyum dengan senyum yang masih aneh.
Belum ada dua meter jalan, rokku terkena cipratan genangan air. Basah separo. Huft..  sial banget sih malam ini.
Hujan turun lagi. Sesampai di kost sepertinya aku harus sujud syukur dan sholat tobat. *sholat isya’ dulu woey, tadi kan belum, makanya dihukum manjat pager.






0 komentar:

Discourse Assigmnment II

16.24 Impian Nopitasari 0 Comments

the post can't be displayed

0 komentar: