Untuk Apa Sih, Nulis?

09.41 Impian Nopitasari 0 Comments


“Untuk apa sih nulis?”
Itu adalah pertanyaan yang dilontarkan seseorang pada saya ketika saya sedang sibuk menulis. Mungkin banyak diantara kita melontarkan pertanyaan yang kurang lebih sama. Nulis kan susah, buat apa sih repot-repot menulis?
Saya teringat dengan kata-kata penulis sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena (FLP). Helvy Tiana Rosa. Beliau mengatakan “Kalau kita menulis, berarti kita menyampaikaan gagasan kita, entah itu fiksi maupun non-fiksi, pasti ada pemikiran di sana yang kita tuang untuk disampaikan kepada orang lain. Dan itu, tentu saja, hanya orang kaya saja yang bisa melakukannya. Orang yang memiliki kekayaan jiwa dan wawasan.”
Jadi, kalau saat ini anda  adalah seorang penulis pemula, atau bahkan masih calon penulis, berarti anda sudah masuk lingkaran orang-orang kaya!
Menulis Untuk Melegenda
Untuk apa melegenda? Perlukah itu? Tidak. Kita tidak perlu. Tapi generasi setelah kita yang memerlukannya. Mereka butuh inspirasi dan inspirasi selalu lebih mengena dan mereka percayai jika datang dari generasi sebelum mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya berbagi inspirasi, tapi kita juga menuai pahala yang tak kenal henti.
Jika kita tak melegenda, tentu mereka tidak tahu kalau kita ada. Jika kita tak berkarya, tentu mereka tak bisa mengambil kita sebagai inspirasinya. Jika Imam Bukhari melegenda lewat Shahih-nya, J.K Rowling melegenda lewat Harry Potter-nya, Andrea Hirata melegenda lewat Laskar Pelangi-nya. Lalu anda melegenda lewat karya apa?
Sama seperti saya. Kita sama-sama belum punya. Tapi di sini kita belajar dari pertanyaan itu. Di sini adalah terminal keberangkatan atas sebuah penyadaran, kita harus sama seperti mereka atau bahkan lebih.
Bekal Menulis
Menulis tidak sekedar menuangkan tulisan, tentu saja ada bekal yang menyertainya.
1.      Membaca
Membaca adalah aktivitas yang wajib dijalani seorang penulis. Mustahil kita menghasilkan tulisan yang bagus tanpa membaca. Ada yang menyamakan membaca dengan makan dan maaf, pup/BAB. Semakin kita banyak makan, semakin banyak kita pup. Semakin banyak membaca semakin banyak karya yang kita hasilkan. Membaca tidak hanya buku tapi juga membaca koran, majalah, televisi, lingkungan, perjalanan, internet, film, karakter orang dan lain-lain. Mulailah membaca bacaan yang anda sukai sebelum membaca yang lain. Bukankah wahyu Allah yang turun pertama adalah kata “Iqro’?”
2.      Perbanyak silaturahmi dan Jalan-jalan
Silaturahmi mendatangkan pintu rizki. Dalam hal ini mengenai dunia kepenulisan memang benar adanya. Perbanyaklah relasi atau link untuk memperkaya wawasan kita. Saya juga mengikuti forum-forum seperti FLP, komunitas sastra Pawon, Gerakan Pena Nusantara (GPN) dan banyak grup kepenulisan di Facebook. Saya banyak belajar dari orang-orang tersebut. Bahkan teman-teman dari dunia maya tersebut banyak membantu dalam proses kepenulisan saya karena sering ngobrol, sharing dan sebagainya. Jalan-jalan juga memperkaya tulisan kita, tidak harus perjalanan yang jauh. Sekitar kita pun bisa memunculkan inspirasi yang tak terduga.
3.      Belajar dan Berlatih
Pahami beberapa aturan dalam menulis. Karena kita menulis tidak hanya sekedar menulis. Terutama tentang strrukturalisasi, dan EYD. Banyak naskah yang isinya bagus tapi strukturalisasinya amburadul. Hal ini membuat juri atau editor malas membaca tulisan kita. Walau sebenarnya isi dari tulisan itu bagus. Sebaliknya jika isi kita kurang bagus tapi strukturalisasinya bagus kita akan diberi arahan untuk merevisi tulisan kita. Jangan hanya karena strukturalisasi tulisan kita gagal menjadi yang terbaik. Naskah saya pernah dilempar di hadapan saya oleh pak Langit Kresna Hariadi, penulis novel best seller Gajah Mada, karena strukturalisasinya yang katanya membuat mata sepet. Saya berterima kasih pada beliau karena pernah membuang naskah saya, karena saya jadi tahu di mana kesalahan saya.
4.      Niat dan kedisiplinan.
Menulis harus disertai niat dan kesungguhan. Niat pun tak cukup, kedisiplinan juga penting. Jangan menjadikan kesibukan, kecapekan, dan tak  sempat nulis karena tak ada waktu sebagai alasan kita. Itu hanyalah pembenaran dari diri kita sendiri untuk tidak menulis.
Dan masih banyak lagi bekal menulis yang hanya dipunyai oleh masing-masing individu.

Pengalaman Menulis
Pengalaman menulis saya memang belum seberapa. Tapi semoga hal yang sedikit ini bisa menjadi tambahan pengalaman bagi yang lain.
Saya senang membaca dan menulis terutama Fiksi. Karena memang genre itu yang saya sukai. Mulai dari cerpen, cerbung, novelet, cerkak, dan kadang-kadang puisi dan geguritan. Saya akui saya memang kurang bisa menulis non-fiksi. Saya senang berkhayal, itu modal pertama saya.
Tulisan pertama saya yang dimuat adalah sebuah puisi berjudul “Medali Kebanggaan” di koran Inspirasi, koran untuk guru di Jawa Tengah. Waktu itu saya kelas dua SMA. Rasanya seperti melayang, susah untuk dideskripsikan. Senang sekali melihat tulisan saya dimuat dan dibaca orang lain.
Cerpen pertama saya dimuat juga sewaktu saya kelas dua SMA, berjudul “ME: Si Nezza Trouble Maker” di tabloid remaja Teen. Hampir satu tahun saya menunggu dan tidak berharap kalau cerpen tersebut akan dimuat, karena majalah itu skalanya nasional, rasa minder pun muncul dari dalam diri saya. Tapi ternyata takdir berkata lain. honor dari pemuatan cerpen tersebut adalah honor pertama saya yang paling besar, waktu itu Rp. 150.000,00. Langsung saya gunakan untuk membeli novel Ketika Cinta Bertasbih yang saat itu sedang booming. Senang bisa membeli novel dengan uang sendiri. Keberanian untuk menulis pun muncul. Seiring waktu tulisan saya sering dimuat di majalah Teen dan majalah Hidayah. Sayangnya saya tidak mengarsipkan tulisan tersebut.
Satu setengah tahun berikutnya adalah masa writers block saya yang paling akut. Tak memproduksi karya apapun. Kevakuman yang saat ini sangat saya sesali. Waktu yang demikian banyak telah saya sia-siakan.
Keinginan untuk menulis muncul lagi. Bulan Juni 2011 saya mengirim geguritan, puisi bahasa Jawa berjudul “Goncahing Alam” yang kemudian dimuat di majalah Panjebar Semangat bulan Juli 2011. Artikel lucu saya yang berjudul “Demi Tiket Mudik” dimuat Solopos  dalam rubrik Ah Tenane, tanggal 24 Agustus 2011. Saya suka sekali menulis untuk rubrik itu karena menurut saya tidak usah njlimet berfikir untuk menuliskannya, pemuatannya tidak lama dan honor lumayan. Kemudian Geguritan saya yang berjudul “Sugeng Riaya Fitri” dimuat di majalah Embun untuk edisi lebaran.
Pengalaman yang tak terlupakan bagi saya adalah ketika mengikuti lomba menulis cerpen Solopos yang diadakan bulan Agustus 2011. Sebenarnya tak ada greget sama sekali untuk mengikuti lomba tersebut. Sudah berpuluh-puluh lomba saya ikuti tapi selalu gagal. Apalagi peserta lomba cerpen Solopos ini orang-orang yang hebat. Teman-teman Laskar Kang Nass, FLP UNS, dan beberapa penulis hebat yang saya kenal. Jika tak ada dorongan dari teman saya untuk mengirimkannya saya tak akan mengirimkan. Naskah yang saya ikutkan tersebut sudah saya buang di tempat sampah karena tak dimuat di manapun, Annida pun sudah merijeknya disertai kritikan yang lumayan membuat down. Annida sudah merijek, mana mungkin bisa menang lomba Solopos yang pesertanya mencapai 800-an orang?
Ternyata perkiraan saya meleset, naskah saya yang berjudul “Tarawih Siang” itu keluar menjadi juara 1 kategori remaja. Saya saja tak mempedulikan kapan pengumuman lomba tersebut. Teman-teman Laskar Kang Nass yang memberi tahu saya lewat sms. Saya fikir yang jadi juara beberapa orang dari mereka. ternyata tak ada satu pun dari anggota Laskar Kang Nass yang mendapat juara. Dan saya malah mendapat juara 1. Hadiah uang tunai dua juta tentu bukan nilai yang sedikit di mata saya. Saya sangat besyukur kepada Allah bisa membayar SPP dengan uang saya sendiri dan membelikan HP untuk ibu saya dan masih ada sisa untuk membeli buku dan mentraktir teman. Teringat kata-kata Pak Yudhi Herwibowo, optimis perlu, tapi jangan berekspetasi berlebihan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak kita harapkan malah memberi kejutan pada kita.
Artikel “Mak jegurr” saya juga dimuat lagi di rubrik Ah Tenane tanggal 26 September 2011, disusul cerkak “Satriya Onthelku” di Panjebar Semangat Oktober 2011. Akhir tahun ini menjadi saat yang menggembirakan karena cerpen saya yang berjudul “Balada Garam Bledhug” mendapat juara 1 dalam lomba Cerpen GPN Purwodadi. Saat ini saya sedang menunggu cerpen saya yang akan diterbitkan dalam antologi bersama oleh penerbit Leutika Prio, Yogyakarta.
Saya semakin mencintai dunia membaca dan menulis. Karena jika ingin mengenal dunia, maka membacalah, jika ingin dikenal dunia, maka menulislah, dan jika ingin mengenal dan dikenal dunia, maka menbaca dan menulislah. Membaca dan menulis, adalah satu paket kegiatan yang bisa mengguncang dunia.

Impian Nopitasari, mahasiswi semester lima Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta. Anggota Forum Lingkar Pena UMS, aktif di grup kepenulisan Forum Tinta Sahabat dan Gerakan Pena Nusantara Purwodadi








You Might Also Like

0 komentar: