Cerpenku Juara 1 GPN

09.41 Impian Nopitasari 0 Comments


BALADA GARAM BLEDHUG
Matahari terasa menyengat di ubun-ubun dan di seluruh tubuhku. Sepanjang mata memandang hanya padang lumpur yang kulihat. Mataku mulai berkunang-kunang. Sepertinya aku ingin beristirahat sejenak melepas lelah. Kulangkahkan kakiku menuju bekas kios bakso dan berteduh di sana.
Pekerjaan kali ini benar-benar membuatku lelah.
Kulihat tetanggaku masih setia dengan pekerjaannya. Heran, masih saja mereka betah terpanggang matahari. Padahal usia mereka terhitung tidak muda lagi.
“Pakdhe, Mbokdhe, mbok laut rumiyin,1 teriakku pada mereka. Mengajak istirahat.
“Ngosek le, nanggung. Kari sithik re,2 jawab mereka serentak.
Sepertinya mereka memang masih betah berpanas-panasan.
Seumur hidup orang tuaku sudah mengabdikan dirinya untuk pekerjaan ini, membuat garam di objek wisata Bledhug Kuwu. Dahulu tempat ini penuh dengan tempat pembuatan garam. Tapi sekarang hanya tinggal empat orang yang masih setia dengan pekerjaan itu, termasuk orang tuaku. Generasi selanjutnya tidak tertarik meneruskan tradisi itu karena penghasilannya sangat kecil.
Aku pun sebenarnya tidak menginginkan pekerjaan ini.
***
Mungkin untuk kebanyakan temanku, libur semesteran adalah nikmat yang tak terkira. Tapi untuk anak petani garam sepertiku saat seperti ini adalah saat yang paling menyiksa. Semakin banyak waktu yang akan kuhabiskan memanggang diri di bawah sinar matahari Kuwu yang membakar kulit.
“Mumpung libur le, kita harus ulet cari uang,” kata bapakku mencoba menyemangati.
Sebenarnya aku tidak tega melihat orang tuaku susah seperti ini. Dengan penghasilan yang sangat pas-pasan bahkan cenderung kurang mereka berusaha menyekolahkanku sampai SMA. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin agar aku tak bernasib sama seperti mereka.
Itulah yang membuatku tetap setia membantu mereka.
Setiap hari para petani garam bekerja mulai pukul 07.00 sampai pukul 15.00. Dibawah naungan caping3, mereka mengalirkan air yang mengandung garam dari pusat letusan gelembung lumpur Bledhug Kuwu melalui sebuah parit kecil yang panjangnya beberapa ratus meter ke sebuah kolam penampungan yang cukup dalam. Air dari kolam penampungan disaring kemudian ditampung dalam sebuah kolam tertutup di sebelahnya.
Air garam yang disebut bleng itu kemudian dituangkan ke dalam bilah-bilah bambu yang disusun memanjang sampai puluhan meter. Dalam sehari, air dalam bilah-bilah bambu itu diisi sampai tiga kali. Setelah tujuh jam dalam cuaca panas, atau tiga hari dalam keadaan mendung, air dalam bilah-bilah bambu sudah mengkristal menjadi garam. Garam itu dicuci bersih dan dituangkan ke dalam kukusan4 untuk ditiriskan. Setelah kering, garam siap dijual.
Aku mengamati proses itu sepanjang hidupku.
***
Minggu lalu aku mendapat tawaran dari guruku untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja yang diadakan kemendiknas. Tanpa berfikir dua kali aku mengiyakan tawaran tersebut. Hari ini ingin rasanya bersilaturahim ke rumah guruku sekalian konsultasi. Aku meminta ijin dari orang tuaku untuk tak membantunya membuat garam. Tekadku tak terbendung lagi. Aku harus membuat perubahan.
“Jadi, apa konsep yang ingin kau tulis dalam naskahmu itu Wan?” tanya pak Iguh, pembimbingku.
“Tentang budidaya garam Bledhug Kuwu pak, bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani garam diambang kepunahan dengan mempromosikan keunggulan garam Bledhug Kuwu yang selama ini tak banyak diketahui orang. Senyawa NaCl yang saya konsumsi tiap hari itu ternyata kandungan Iodin-nya tinggi. Saya ingin membuktikan hipotesis tersebut. Rencana saya ingin melakukan penelitian itu sambil bekerja pak supaya lebih efisien.” jawabku mantab.
“Bagus, saya suka. Sudah saatnya anak daerah mengembangkan potensi daerahnya sendiri. Draft penelitianmu saya bawa dulu ya. Seminggu lagi datanglah ke sini,”
Aku pulang dengan gembira. Semoga penelitianku diterima. Aku tak berharap banyak karena pesaingku mungkin lebih hebat daripada aku, tapi di sisi lain ingin juga penelitianku tembus sebagai finalis LKIR di Jakarta.
Rasa ingin mengharumkan nama kabupaten Grobogan sudah terpatri dalam dadaku.
***
Malam hari sesudah bekerja, aku dan keluargaku berkumpul sambil menikmati santap malam sederhana. Ibuku masih mengomel tentang harga garam Bledhug Kuwu yang tak mengalami perubahan. Satu kilogram garam dihargai Rp.2000,00 oleh tengkulak. Sedangkan untuk wisatawan garam Kuwu dijual Rp. 1000,00 setiap seperempat kilogram dalam kemasan plastik.
Garam ini hanya beredar di pasar-pasar kabupaten Grobogan dan di sekitar objek wisata bledhug Kuwu sebagai souvenir selain  bleng yang dijual Rp. 1000,00 per botol untuk obat gatal-gatal pada kulit. Sungguh mengenaskan pendapatan orang tuaku. Aku tak bisa berharap banyak pada pemerintah kabupaten. Objek wisata Bledhug Kuwu saja tak terurus apalagi petani garam di dalamnya.
Harapanku saat ini hanyalah ingin menunjukkan potensi garam Kuwu melalui karya ilmiahku.
Judul karya ilmiahku, Upaya Peningkatan Mutu Garam Bledhug Kuwu dengan Metode Uji Noda mendapat respon positif dari pak Iguh. Aku melakukan penelitian setelah selesai bekerja. Mengumpulkan data, mengujinya, dan membuat laporan untuk dikonsultasikan. Sebulan aku berkutat dengan kegiatan penelitianku. Kegiatan belajar yang sudah aktif kembali tak membuatku menyerah untuk melakukan aktivitas ini.
Asaku membumbung tinggi ditengah galaknya sinar matahari dan stagnasi harga garam Kuwu. Semangatku tak kan luntur hanya karena itu. Aku janji.
***
Catatan:
1.      Paman, Bibi, istirahatlah saja dulu.
2.      Nanti saja nak, nanggung, tinggal sedikit nih.
3.      Topi dari anyaman bambu.
4.      Keranjang dari anyaman bambu berbentuk kerucut.



You Might Also Like

0 komentar: