PEMULUNG ILMU
Tak
kuhitung berapa kali kakiku mondar-mandir di ruangan ini. Kuedarkan pandanganku
ke sekeliling ruangan 6x3 m yang sesak oleh tumpukan buku dan rak-rak kayu.
Mengecek dan mengecek, mencari sesuatu yang absen terlihat di mataku.
Nihil.
“Hilang
lagi mbak?” suara gadis kecil mengagetkanku.
Aku
mengangguk.
“Lagi,?”
tanya gadis itu dengan dahi berkerut.
Aku
hanya menjawab dengan helaan nafas dan senyum kecut. Dan itu menambah ekspresi
kesalnya.
Dinda,
nama gadis kecil itu. Anak asuhku di rumah singgah ini. Dia yang membantuku
mengurus taman baca IQRO yang kudirikan setahun yang lalu. Kehilangan koleksi
buku sangat memukul perasaannya.
Juga
diriku, sebagai pengurus inti di rumah singgah ini.
***
“Kamu
jangan ndiemin masalah ini begitu saja dong Va! Harus ada tindakan atau kau mau
taman bacamu tinggal almarhum?” bentak mbak Widi, ketua LSM Rumah Singgah Iqro
ketika memimpin rapat.
“Aku
harus gimana mbak? Apa perlu pasang CCTV?” balasku dengan ketus.
“Sakarepmu lah Va1,”
Mbak
Widi sepertinya tak bisa mengendalikan emosinya. Begitu juga aku. Kita memang
sering beda pendapat. Tapi entah kenapa masalah ini membuat kita naik darah.
Tak mau mengalah, mengandalkan ego masing-masing.
Aku
ingin keluar mencari angin segar.
Beberapa
hari ini taman baca yang kuasuh digegerkan dengan hilangnya beberapa koleksi
buku. Tentu ini masalah yang besar untuk perpus mini yang koleksi bukunya tak
seberapa. Aku tak bisa mengira-ngira siapa pelakunya. Setiap hari taman bacaku
penuh dengan anak-anak jalanan yang mampir untuk membaca.
Apa
aku tega mencurigai mereka? mereka mau mampir saja aku sudah senang.
***
Hari
ini aku ingin berburu buku bacaan lagi. Walau tak bisa mengganti koleksi yang
hilang, setidaknya ini menjadi obat kehilangan. Kulangkahkan kakiku menuju
pasar buku Sriwedari, pusat buku murah di Solo.
Semoga
ada buku murah dan bagus yang bisa kubeli.
Kakiku
melangkah menyusuri gang sebelah barat Sriwedari, menuju Bu Sri2. Menendang-nendang kerikil sebagai uangkapan
rasa kesalku. Matahari galak menyengat, sepertinya dia tahu apa yang kurasa.
Udara bergolak, semakin menambah dramatisasi suasana hatiku.
Langkah
kakiku tiba-tiba tersendat. Mataku menangkap pemandangan yang membuatku enggan
melangkah. Seorang anak laki-laki kecil berseragam merah putih bersandar di
gerobak sampah.
Bersandar
sambil membaca buku!
Naluriku
sebagai pengasuh anak-anak jalanan membawa diriku untuk berjalan mendekati anak
itu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia kerjakan di dekat tempat bau seperti
ini. Bersebelahan dengan gerobak yang penuh dengan sampah bukanlah tempat yang
ideal untuk membaca buku.
“Lagi
baca apa dek?” tanyaku pada anak itu.
Ia
tak segera menjawab pertayaanku. Raut keheranan nampak di wajahnya. Aku baru
sadar aku ini orang asing yang tiba-tiba bertanya. Pantas saja ia sedikit
takut.
“Hmm..
ndak baca apa-apa mbak, ini lagi ngerjain PR Matematika,” jawabnya dengan
terbata-bata.
Cepat-cepat
ia menutup dan menyembunyikan buku yang ia baca ke dalam tas. Dengan cepat
dikeluarkan buku tulis dan pensil dari tasnya. Bergegas mengerjakan tugasnya.
Kenapa
harus takut seperti itu? Apa yang salah dengan buku bacaannya?
“Arif,
PRnya sudah rampung le?” suara pria
setengah baya mengagetkanku.
Di
sampingku sudah berdiri bapak-bapak. Usianya sekitar empat puluhan. Memanggul
karung berisi sampah dan memegang besi bengkong. Dari penampilannya aku bisa
menebak apa pekerjaannya. Memungut sampah. Seorang pemulung.
“Ngapunten, Maaf pak, tadi saya kebetulan
lewat, terus lihat adik ini sedang baca buku. Saya ingin tahu saja pak. Hebat,
masih mau membaca buku di tempat seperti ini,” kataku pada bapak itu dengan
gugup.
“Iya
mbak, ndak apa-apa. Dia anak saya, namanya Arif. Suka sekali membaca dan pintar
mencari buku-buku bekas yang dibuang. Saya hanya bisa mulung mbak, ndak bisa
ngasih buku bagus yang lebih. Walau saya pemulung tapi saya tak ingin anak saya
bodoh seperti bapaknya,” kata bapak itu menjelaskan sambil duduk melepas lelah.
“Oh
ya, perkenalkan, saya Eva pak. Pengurus rumah singgah Iqro,” kataku memperkenalkan
diri “kami menerima anak-anak jalanan, pengamen, anak terlantar dan lainnya
untuk dibimbing. Di sana juga ada perpus kecil. Saya senang sekali kalau Arif
bisa kesana. Jadi ndak perlu mulung buku-buku bekas lagi. Gimana Arif? Mau
kan?,”
Terlihat raut senang di wajah Arif, ia menoleh
ke wajah ayahnya, meminta persetujuan. Sang ayah mengangguk.
***
Aku
merasa lelah karena seharian mengurus rumah singgah. Mbak Widi sedang
mengunjungi orang tuanya di Semarang jadi otomatis diriku sendirian mengurus
rumah singgah dan taman baca.
Aku
membaca arsip-arsip kejadian di buku kerja. Dua bulan terakhir merupakan
hari-hari berat bagiku. Mulai dari kehilangan anak binaanku yang menjadi korban
tabrak lari sewaktu mengamen, ada yang ditangkap polisi karena dituduh
mengganggu ketertiban umum, sampai kasus hilangnya buku-buku di taman baca.
Apalagi
para “boss” anak-anak yang menjadi binaanku sering melakukan teror. Mereka
memang tidak suka dengan adanya rumah singgah seperti ini. Mesin uang mereka
terhenti karena aku “merebut” mereka. Bukan perkara yang gampang memang
mengalihkan pekerjaan anak-anak dari mencopet, mengemis untuk mau bersekolah
dan menyalurkan bakat positif mereka di rumah singgah.
Tidak
mudah menghadapi semua ini.
Untunglah
keceriaan anak-anak itu menjadi obat kegelisahanku selama ini. Apalagi jika
melihat semangat mereka yang tinggi untuk menimba ilmu di tengah kesulitan
hidup yang semakin sulit saja. Orang tua yang tak terlalu mendukung juga
menjadi tantangan tersendiri bagi mereka dan bagiku sebagai pembina.
Aku
harus selalu memberi semangat hidup bagi mereka.
Beruntung
sekarang aku punya Arif, anak yang kutemui di gang barat Sriwedari dulu. Dia
bersama Dinda menjadi penghuni favorit taman baca. Tak banyak orang tua seperti
bapaknya Arif mengizinkan anaknya kesini. Biasanya mereka menuntut untuk selalu
bekerja.
Berada
di rumah singgah hanya membuang waktu dan kesempatan mendapat uang.
Arif
anak yang cerdas, setengah dari koleksi buku sudah ia baca. Ia memang pembaca
cepat dan pemilik rasa ingin tahu yang tinggi. Pagi sampai sore ia sekolah dan
membantu memulung sampah. Malamnya, ia menjadi penghuni tetap taman baca.
Aku
sering menemaninya belajar bersama Dinda.
***
“Mbak
Eva, cepetan kesini Mbak,” teriak Dinda padaku.
“Emang
ada apa to?” tanyaku heran.
Dinda
menunjukkan sesuatu padaku. Satu kardus yang diletakkan di depan pintu. Pikiran
macam-macam memenuhi otakku. Jangan-jangan ini bom? Segera kutepis pikiran
buruk itu. Dinda menyodorkan amplop yang berada di atas kardus itu. Ternyata
surat.
Kepada: Mbak Eva yang baik hati.
Terimakasih sudah menjadi lentera
di tengah kegelapan hidup saya. Saya hanya ingin minta maaf. Selama ini saya
yang diam-diam mengendap-endap di malam hari untuk “meminjam” buku dari taman
baca sebelum mbak bertemu dengan saya di Sriwedari dulu. Saya sadar cara saya
salah. Saya nggak mau jadi pencuri ilmu Mbak, biarlah saya memulung ilmu di
sini. Ijinkan saya menjadi pemulung ilmu. Buku-buku ini saya kembalikan. Saya
tahu, kehilangan buku adalah beban buat Mbak. Sungguh, maafkan adikmu yang
kurang ajar dan tak tahu diuntung ini.
Arif.
Ya
Allah, ternyata selama ini Arif yang mencuri buku-buku di taman baca.
Butir-butir bening jatuh dari kelopak mataku. Aku tak marah denganmu, aku
menghargai kejujuran dan keberanianmu.
Kembalilah
Arif, segudang ilmu menungggumu.
***
Catatan:
1. Terserah
kamu deh Va.
2. Bu
Sri, singkatan dari mBUri SRIwedari (Belakang Sriwedari), nama familiar untuk
menyebut pasar buku murah di belakang Taman Budaya Sriwedari, Solo.
0 komentar: