Tentara Bertameng Kanvas (Cerpen Antologi Senyum)
Tentara Bertameng
Kanvas
Cerpen
Impian Nopitasari
“Belum tidur Mas?” tanya Arum pada pria yang sedang
melukis di beranda.
“Eh, kamu Rum, belum. Ini masih nyelesain satu lukisan.”
“Mas, ini aku bawain tengkleng1, beli di warung gapura depan pasar Klewer. Enak lho Mas,
dimakan ya!”
‘‘O
... ya...maturnuwun2 yo. Entar pasti tak makan, taruh di dalam dulu.”
Arum masuk ke dalam kontakan Dardiri, pria yang melukis
itu. Rumah kontakan itu kecil, namun tertata rapi, di
sana-sini terpajang lukisan klasik dan naturalis karya
Dardiri.
“Buat pameran ya Mas?” tanya
Arum setelah keluar dari ruangan dan duduk di kursi
beranda.
“Iya, deadline-nya
tiga hari lagi. Kamu mau nonton Rum? Di aula ISI”
“Pengen sih Mas, tapi aku harus ngadepin sidang
kelulusan, pusing Mas, dosen pengujiku galak.”
“Ah ... tenane, lha
wong kamu juga galak kok Rum
... Rum
...,
yo wis aja mrengut ya, tak do’a in muga-muga lulus.3”
“Amin.” Arum mengamini sambil tersenyum.
Setelah
berbincang sebentar, Arum mohon diri untuk pulang ke kosannya. Kos-kosan putri yang ditempatinya
sekarang memang berhadapan dengan rumah kontrakannya Dardiri. Sementara itu
Dardiri masih sibuk dengan goresan pisau paletnya. Sket-sket yang dibangunyan
tak ubahnya adalah bentuk kekesalannya, ekspresi jiwanya. Ia membangun sosok
tentara memanggul kuas, bukannya senapan, dan bertameng kanvas bukannya
lempengan baja.
Sosok yang sempurna di matanya.
Ia belum memikirkan judul yang tepat untuk lukisannya. Ia
hanya ingin menyelesaikan sebelum tanggal 10
November, hari dimana lukisan-lukisannya akan dipamerkan. Pameran itu sekaligus untuk memperingati Hari
Pahlawan.
“Ah, hari apa lagi ini. Aku sudah tidak percaya lagi dengan
kepahlawanan, atau apalah. Apalah arti
kepahlawanan untuk seorang anak yang tak
diakui oleh ayahnya, sosok yang seharusnya menjadi
pelindung, pahlawan bagi keluarganya.”Gumam Dardiri dalam hati.
Mukanya masam, hatinya kelu, seperti ada beban mental
yang mengganggunya. Kanvas hijau kembali memanjakan mulutnya yang makin membiru
karena sering menghirup nikotin. Kepulan asap terakhir juga menandai selesainya
goresan pisau paletnya.
Malam semakin sunyi. Tanda-tanda kehidupan kian
sepi. Kecuali bunyi jangkrik dan suara cek-cek cicak yang berkejar-kejaran di
sekitar baling-baling kipas angin yang menambah keributan.
“Akhirnya, selesai juga lukisan ke seratusku ini,” tukas Dardiri, nampak
puas.
Sesosok tentara bersenjata kuas dan bertameng kanvas memandanginya. Melihat itu, Dardiri seperti berkaca. Senyum kecut tersungging di bibirnya. Ia hampir lupa dengan tengkleng kiriman Arum tadi, ia tak menyadari perutnya belum terisi sejak sore. Cacing-cacing di perutnya berdemonstrasi, orasinya
terdengar dari luar. Minta tuntutanya dikabulkan : segera isi bahan bakar.
Mendengar itu Dardiri segera membereskan perabot-perabot melukisnya juga
merapikan rambutnya yang gondrong tapi rapi. Setelah itu ia masuk ke dalam.
Dituangkannya tengkleng
ke mangkok, juga nasi yang dibungkus kertas minyak di atas piring. Melihat itu,
dardiri teringat tengkleng buatan
simboknya di Jepara. Tiba-tiba rasa rindu menusuk hatinya.
“Tentu tengkleng buatan simbok lebih enak dari ini,” katanya
pada diri sendiri.
“Ah bodo amat, sudah dikasih kok masih protes to Dar, yang penting isi perutmu yang sudah keroncongan itu” katanya lagi, memprotes opininya yang pertama.
Tapi
rindu tetap saja mengusik pikirannya. Sudah lima tahun ia tidak berjumpa
simbok. Bagaimana
kabar beliau? Tentu saja sudah bertambah renta. Apa Nastiti menjaganya dengan
baik? Jatmiko tentu sudah duduk di bangku SMA. Dan Bapak? Ah tiba-tiba satu
kata itu muncul lagi. BAPAK, satu sosok yang sangat dibencinya. Seseorang yang
tak ingin diingatnya.
Seseorang yang
ingin ia buang jauh-jauh dari memorinya.
Bapak
tidak lebih dari seorang diktator, otoriter, suka memaksakan kehendaknya. Setiap hari Dar harus lari keliling kampung, push up, set up, skot jam 50 kali atau bahkan lebih adalah kewajiban yang
tak bisa diganggu gugat. Bapak yang seorang purnawirawan TNI AD itu ingin menjadikannya
seorang tentara. Ya, seorang tentara seperti Bapak. Baginya tentara adalah
profesi segala-galanya. Profesi wajib yang harus disandang anaknya, Dardiri.
“Pak, aku nggak mau jadi tentara!” protes Dardiri suatu
hari.
“E ...
bocah
gendheng4, kamu harus jadi tentara! Dengan itulah kamu bisa membuktikan baktimu kepada nusa
dan bangsa!”
“Berjuang kan tidak harus memanggu senjata pak, dengan
belajar atau bekerja sungguh-sungguh itu juga merupakan bakti kepada negara,
lagi pula sekarang jamannya beda, 66 tahun Indonesia merdeka. Saatnya berjuang dengan otak, bukan
dengan bedil.”
‘‘Kamu kok jadi
tambah wani5 sama orang tua ya.
Tentara itu tindakan kongkret untuk membela negara. Jika kamu berhasil membunuh musuhmu, kau akan diberi bintang penghargaan, jika kamu mati, kamu mati menang, tidak akan sia-sia.”
“Tak sudi aku pak, mati membela memakan uang rakyat, tak sudi aku mati sia-sia seperti itu,” bantah Dar.
“Lalu ...
apa yang kamu perjuangkan dengan kuas-kuas bodohmu itu? Apa yang kamu sumbangkan pada negara selain gambar-gambar konyolmu
itu? Melukis? Bah ...
pekerjaan yang pantas untuk seorang pengangguran.”
“Pak jangan remehkan hobiku!
Lihatlah Chairil Anwar, dia berjuang melalui puisi,
Ismail Marzuki, membakar semangat pejuang bangsa Indonesia dengan rangkaian
nada. Ricky, Alan, Susi membela negara di arena bulutangkis! Mereka juga
pahlawan pak! Pahlawan tak harus berdebu debam dengan granat, aku bukan
fotokopian bapak. Bapak hanya ingin mendoktrin aku untuk menjadi tentara! Ya
kan pak??”
Plak!
sebuah tamparan mendarat di pipi Dardiri,
bukan sakit di pipi yang ia rasakan, tapi di hatinya yang
terdalam, sumpah serapah mengalir bagaikan arus air.
Dardiri
membanting pintu kamar dan merebahkan diri di kasur. Tak ada yang berani
menentang bapak. Simbok, Nastiti dan Jatmiko, ibu dan adik-adiknya hanya
terdiam melihat drama tadi. Bapak memang terobsesi dengan keinginannya
menjadikan Dardiri sebagai tentara. Hanya dia harapan satu-satunya anak yang
bisa mewarisi profesi bapak.
Nastiti,
seorang wanita, tidak mungkin menjadi tentara seperti impian bapak, juga
Jatmiko, adik bungsunya yang juga tak mungkin menjadi tentara karena sejak
kelas dua
SD ia sudah berkacamata. Hanya Dardirilah harapan terakhir ayahnya.
Pucuk dicinta,
ulam pun tak kunjung tiba. Keinginan Bapaknya tak diimbangi dengan kemauan
Dardiri. Dar tak habis pikir, kenapa bapak sangat ingin menjadikannya tentara?
Sedikitpun ia tak menyukai pekerjaan itu. Menjadi pelukis terkenal adalah
impiannya sejak kecil. Banyak lomba ia menangkan, tapi semua itu tak mendapat
tanggapan dari bapaknya. Hanya simbok yang selalu menyemangatinya dan bersabar menghadapi
bapak.
Simbok yakin
suatu saat nanti bapak akan mengerti dan berubah.
Jika tak
ada simbok, Dar tak yakin masih mampu menghadapi cobaan ini. Berhari-hari
perang dingin dikobarkan bapak dan Dardiri. Menambah kabut rumah semakin pekat.
Orang rumah tak ada yang berani menegurnya. Nastiti minggat ke rumah buliknya
di Mayong, tidak tahan dengan suasana rumah yang semrawut. Juga Jatmiko, yang
memilih bertahan di kamar seharian, mengerjakan rumus-rumus fisika dan
matematika dari pada harus keluar melihat macan bertikai.
Kejadian ini berlangsung selama satu minggu.
Dar berhasil lulus SMA dengan nilai yang baik, keinginan
kuliah di ISI
semakin menggebu-gebu. Jurusan seni rupa sangat menyenangkan baginya. Bapaknya
pun masih ngebet ingin memasukkanya
ke AKMIL.
Cek cok selalu terjadi setiap hari.
Ketika sekolah mengadakan
pameran dalam rangka pelepasan kelas tiga, Dar bersemangat untuk ambil bagian dalam acara tersebut.
Ia ingin memajang hasil karya-karyanya yang menumpuk di kamar. Ada kepuasan di
hatinya, seandainya ada orang yang menilai hasil
coretannya.
Dar kaget bukan kepalang, bapak telah merusak semuanya.
Kuas-kuas dipatahkan, cat air dibuang, dan lukisannya dibakar di halaman. Semuanya hangus tak
tersisa, begitu juga perasaan Dar. Ia tak mau mentoleransi perbuatan bapak. Berbekal ijazah dan SKHU, serta baju seadanya, Dar
pun minggat dari rumah.
“Bocah
edan! diwenehi ngerti malah minggat!6” Teriak bapaknya.
“Buat apa aku di rumah ini pak? Buat jadi pajangan? Aku
capek dengan semua perilaku bapak, aku mau nentuin hidupku sendiri pak!”
“Kamu mau mulung dengan kuas-kuasmu itu? Yo
wis sak karepmu, minggat kana, ora sudi aku nduwe anak kayak kowe!7”
“Aku juga nggak sudi punya orang tua seperti bapak. Mbok,
maaf aku harus pergi. Nastiti, Jatmiko, jaga simbok,” kata Dardiri berpamitan pada
keluarganya sambil berlalu.
“Dardiriiiii!!!” simbok menangis meraung-raung.
“Sabar ya mbok, Mas Dar pasti pulang,” hibur Nastiti.
*
Dar
tidak tahu kemana seharusnya pergi, tiba-tiba dia teringat tujuannya dulu,
kuliah di ISI,
ya ISI. Inilah
perjalanan pertamanya ke kota Solo. Berhari-hari Dar luntang-luntung di
jalanan, sesekali dia melukis dengan peralatan yang sempat dibawa, yang selamat
dari amukan bapak.
Sejak itulah dia menjadi pelukis jalanan.
Suatu
ketika ada seseorang yang tertarik dengan lukisan Dar. Singkat cerita, orang
itu menawari Dar untuk ngontrak dirumahnya. Dialah Cak No,
satpam ISI dari Surabaya yang menetap di Solo. Sejak itulah Dar
tinggal di rumah kontrakan Cak No, dengan bekerja serabutan sambil terus
melukis Dar bisa melanjutkan kuliah di ISI seperti impiannya.
Dar tersadar dari lamunannya, ternyata dari tadi ia tak
berkonsentrasi makan tengklengnya
Arum. Ia seakan diingatkan kembali oleh flash back
masa lalunya. Kantuk pun membawanya ke
alam mimpi.
*
Tok ...
tok ...
tok ...
”Assalamu’alaikum,” terdengar bunyi ketukan pintu dan ucapan salam.
Dengan bermalas-malasan Dar membuka matanya. Ternyata
sudah pagi. Ia kesal sekali siapa yang membangunkannya.
Setelah mencuci muka dan merapikan rambutnya, ia membuka pintu.
Glek! Darah Dar seakan membeku, berhenti mengalir ketika melihat tamu di hadapannya.
“Nas ...
Nastiti?” Dar terkejut.
“Maaf Mas Dar aku
mengagetkanmu,”
jawab Nastiti lirih.
“Lho ... kamu kok bisa ke sini? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?”
“Ah nggak penting Mas, Titik kesini Cuma mau minta tolong
sama Mas Dar,”
“Minta tolong apa? Ehm...duduk dulu Tik!”
“Mas, aku mohon, Mas pulang ke Jepara,” kata Nastiti menghiba.
“Pulang? Kenapa? Nggak ah!”
tukas Dar ketus.
“Mas, bapak sakit Mas, hipertensinya kambuh, bapak
terjatuh di kamar mandi, sakitnya semakin parah. Kumohon Mas pulang menjenguk
bapak,”
jelas Nastiti.
“Tik, kamu nggak tahu ya? Aku masih sakit hati sama bapak,” kata Dar dengan raut
muka marah.
“Mas lupakan egomu sebentar! Aku rasa umur bapak nggak
lama lagi. Tolong, kali ini saja Mas pulang,” Nastiti masih mencoba
memohon.
Dar diam
sesaat, pikirannya kacau. Tiga
hari lagi pamerannya digelar. Apa dia harus menengok bapak? Orang yang membuatnya jadi
begini. Tapi dia juga orang tuanya. Dar tak mau dianggap sebagai anak durhaka.
“Terserah Mas, yang penting Titik sudah menyampaikan
pesan, terserah Mas mau menjenguk bapak atau tidak. Tapi Titik mohon, Mas mau
pulang ke rumah,”
ujar Nastiti sambil mohon diri.
“Tik, nggak nginep dulu? Kamu pasti capek,”
“Nggak Mas, simbok nunggu di rumah, aku hanya menyampaikan pesan
aja ke Mas,”
Dardiri menatap Nastiti dengan nanar. Berkecamuk perang
hatinya, pulang? Tidak? Pulang? Tidak? Ah pusing!
*
Dar sudah
memantapkan hatinya. Satu keputusan sudah diambil. Dia harus pulang.
Bagaimanapun juga dia tidak mau dianggap sebagai anak durhaka. Sebisa mungkin
dia akan mengikhlaskan untuk memaafkan bapak, karena dia beranggapan kalau
bukan hanya bapak yang bersalah, tapi juga dirinya. Mengenai pameran, dia sudah menyerahkan semuanya ke Sugeng, teman kuliahnya
untuk mengurusi semuanya.
Semuanya sudah siap, tinggal berangkat. Dar sempat
memandang lukisannya. Lukisan tentara memanggual kuas bertameng kanvas. Entah
kenapa ia selalu memandangnya. Kunci rumah sudah dititipkan ke Cak No. Kaki pun
siap membawanya ke terminal.
Di dalam bus, Dar semakin memantapkan niatnya untuk
pulang.
Sepanjang perjalanan Dar memikirkan kemungkinan
kejadian ketika dia pulang. Apakah bapak masih seperti yang dulu ketika dia
minggat? Yang pasti bapak sudah tambah renta.
Setelah lima jam perjalanan akhirnya Dar sampai di
rumah.
“Dar, akhirnya kamu pulang juga to le
...8” kata
si mbok sambil menangis melihat kepulangan Dar.
“Ya mbok, Dar kangen sama si mbok,” kata Dar sambil memeluk
simboknya.
Simbok membawa Dar ke kamar, di
situ terbaring bapak dengan
kondisi lemas, tiba-tiba keharuan muncul dibenak Dar. Menghapus
semua benci dan dendam terhadap bapak.
Dar bersimpuh dan menangis di samping bapaknya.
“Dar ... ini benar-benar kamu?” kata bapak dengan pelan
“Ya, pak, ini Dar, aku sudah pulang pak,”
Hening.
“Pak, maafin Dar ya,
Dar banyak salah sama bapak, dosaku banyak sama
bapak. Bapak, dibawa ke dokter ya? Biar cepat sembuh,” kata Dar terisak.
“Nggak usah, aku lihat kamu aja seneng, bapak juga minta
maaf, luputku yo akeh le,9”
“Maafin Dar ya pak, Dar nggak bisa buat bapak bahagia,
karena Dar nggak jadi tentara seperti keinginan bapak”
“Wis...wis...itu
bukan kesalahan
kamu, tapi kesalahan bapak, bapak yang terlalu otoriter, sekarang bapak sudah
sadar, kebahagiaanmu, kebahagiaan bapak juga, apapun profesimu bapak akan
selalu mendukung. Selama profesi itu baik”
“Jadi bapak nggak marah Dar jadi pelukis?”
“Apapun pekerjaanmu, kau tetap tentara bagiku, bagi
simbok, bagi Nastiti, bagi Jatmiko, bagi keluarga ini le...”
“Makasih ya pak.”
Bapak menyuruh simbok mengambil peti di lemari, simbok
memberikannya pada bapak, Dar membukanya.
“Apa ini pak?” tanya Dar
“Bapak nggak bisa kasih apa-apa ke kamu, bedil ini ambil
agar kau selau ingat dengan bapak, kuas dan lipatan kanvas ini, agar kau tetap
serta dengan pekerjaanmu, dan ini ... surat
tugas dari bapak, bukti kebanggaan seorang bapak kepada anaknya.”
Tak lama, tangan bapak terkulai, lalu memejamkan mata.
“Pak...” Dar tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Bapak cepat sembuh ya, biar ke Solo, lihat pameran lukisan
berikutnya? Pak...pak...”
digoyang-goyangkan tubuh ayahnya, tapi tak ada respon,
lalu dipencetnya nadi ayahnya.
”Inna lillahi wa
inna ilaihi rojiun!”
Air mata mengalir tak terbendung dari mata simbok, begitu pula Nastiti dan Jatmiko. Mereka telah
kehilangan figur seorang pemimpin yang tegas, keras, namun berwibawa dan sayang
keluarga seperti bapak.
“Pak, Dar janji akan menjadi tentara buat keluarga ini,
buat bapak, buat negara kita.” Janji Dar masih dalam derai
tangis yang terurai.
~Tamat~
Catatan:
1. sayur yang dibuat dari daging sapi/kambing
2.
Terima kasih ya
3.
Ah, yang bener? Lha wong kamu juga galak kok Rum, ya sudah jangan
cemberut, tak doain moga-moga lulus
4.
E..anak gila
5.
Berani
6.
Anak gila, dikasih tahu malah minggat
7.
Ya sudah, terserah kamu, minggat sana, nggak sudi aku punya anak kaya kamu
8.
Le: panggilan untuk anak laki-laki di Jawa
9.
Kesalahanku juga banyak Nak
0 komentar: