PADA HELAI KAMBOJA, Cerpen Antologi Joglo
Aku melihatnya lagi.
Semburat
jingga di ufuk barat sore ini terlihat sangat terang. Benar-benar eksotis. Lukisan
alam karya Sang Seniman Maha Agung.
Lukisan
senja di kanvas langit sore.
Senja ini
masih sama dengan senja-senja kemarin. Senja-senja yang pernah kita nikmati
bersama. Mengaguminya, mengandai-andaikannya. Senja yang selalu membuat kita
termenung, membuat kita terdiam sejenak.
Sejenak,
hanya sejenak.
Juga
sejenak hari ini yang masih ditemani senja. Masih ditemani angin sore yang
membelai daun-daun pakis, rumpu-rumput liar, bunga palem dan menggugurkan
daun-daun kamboja.
Dalam
helai kamboja, aku melihat dirimu.
*
Aku belum mengenalnya.
Kuyakinkan diriku sendiri untuk menerima pernyataan
itu. Walau sebenarnya ada keinginan untuk
menyangkalnya.
Tapi aku tak bisa.
Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku tahu dia berbeda. Dia punya sesuatu yang
kucari selama ini. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tak yakin lagi akan
menemukannya. Dia punya sesuatu yang sudah kulupakan. Dia adalah pemilik
warnaku yang hilang.
Warna surga yang telah usang.
Angin malam mulai masuk ke celah dinding kamarku.
Perlahan-lahan meminta perhatian dengan menghembuskan semilirnya. Dua ekor
cicak asik berkejar-kejaran. Terlihat sangat akrab dan mesra. Tak peduli dengan
diriku yang sedang menontonnya.
Bahkan aku iri dengan dua ekor cicak!
*
“Kau tahu, jika kau sudah mencintai sesuatu, kau akan
menyimpannya dan tak akan ada orang satu pun yang bisa mengambilnya!” katanya
padaku.
Udara bergolak.
Aku yang dari tadi sibuk mengaduk-aduk es teh berhenti
seketika. Raut mukaku berubah seperti es teh yang kuaduk-aduk. Kipas angin di
atasku masih berputar kencang. Mungkin ingin meredakan kepalaku yang mulai
panas. Saking kencangnya hingga menerbangkan kertas-kertas tugas di atas
mejaku.
“Bahkan aku tak diijinkan mengambilnya mas? Sungguh
tak ada kesempatan sekali pun untukku?” kataku dengan raut muka kecewa.
“Maafin mas ya, kau sahabatku, tapi aku cinta dia.
Walau dia tak pernah menganggapku sama sekali,” katanya datar.
Mataku seperti berenang dalam kubangan air. Tangis ini
kutahan sekuat tenaga. Mendengar kata-katanya tadi sungguh membuatku gemas.
Seharusnya dia tahu bagaimana rasanya tak dianggap. Ingin rasanya kutumpahkan
es teh ini ke wajahnya.
Aku dekat dengannya. Tapi aku belum mengenalnya.
*
Sekedar tahu
siapa dia pun sulit, apalagi mengenalnya.
Dia berhasil menciptakan sekat yang tebal dan kokoh.
Dia bangun sekat itu setinggi mungkin dengan duri-duri yang akan menusuk jika
nekat memanjatnya. Sekat yang tak memungkinkan diriku untuk melihatnya.
Membiarkan diriku hanya bisa selalu menerka-nerka.
Jika kau memang ingin menciptakan sekat , buatlah. Aku
mengerti kau tak ingin diriku masuk dalam kehidupanmu terlalu dalam. Tapi
tolong, jangan kau ciptakan sekat dengan dinding tebal dan duri pengaman.
Ciptakanlah sekat dari kaca, agar aku tetap bisa melihatmu walau tak kan bisa
menggapaimu.
Agar bisa melihatmu dan mengerti siapa sebenarnya
dirimu.
Cukup hanya bisa memahamimu tanpa harus masuk dalam
kehidupanmu.
Sungguh benar-benar sulit mengenal siapa dirimu.
*
PARANGTRITIS,
28 NOVEMBER 2010
Deburan ombak bergema begitu keras. Gelombangnya
bergulung-gulung menghantam barisan karang yang berdiri kokoh. Karang-karang
hitam itu diam saja dihantam sang ombak. Keangkuhannya tak mengalahkan sang
ombak untuk selalu menghantamnya.
Aku berjalan menapaki pasir hitam yang terhampar bak
permadani alam yang indah. Butiran-butiran kecil yang menempel di kakiku membuatku
tergoda untuk memainkannya. Membuatku duduk sendiri di tengah keramaian.
“Kok duduk di sini sendiri, ndak main sama
temen-temen?” tanyanya padaku.
Ucapannya yang tiba-tiba sontak membuat aku tersadar
dari lamunan.
“Emm.. aku nggak suka pantai mas. Aku benci jika harus
berbasah-basah seperti mereka,” kataku padanya tanpa berani menatap wajahnya.
Teman-temanku yang sedang bermain di tepi pantai menjadi pelarianku.
“Kenapa ndak suka? Mas dulu juga ndak suka pantai.
Tapi sekarang jadi suka,” jelasnya padaku.
“Kok bisa? Apa yang membuat mas suka?” tanyaku dengan
penasaran.
Dia tak segera merespon pertanyaanku tetapi malah
mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Benda kecil berwarna hitam. Seperti
besi.
“Lihat ini ya,” katanya sambil memeperlihatkan benda itu
kepadaku “ini namanya magnet pasir, ketika mas taruh magnet ini diatas pasir,
semua pasir menempel padanya. Kalau boleh memilih pasir itu tak ingin menempel
pada magnet ini. Tapi, magnet ini yang membuatnya tertarik.”
“Aku nggak ngerti mas?” kukatakan hal itu dengan
kening berkerut.
“Pasir itu adalah mas dan magnet itu adalah pantai.
Ada suatu hal yang membuat mas tertarik pada pantai,” katanya sambil tersenyum.
“Sesuatu itu adalah senja.”
*
Kau begitu menyukai senja.
Dulu aku tak mengerti mengapa kau begitu menyukai
fenomena alam pergantian siang dan malam itu. Senja bagiku tak lebih dari
rutinitas alam harian yang tak perlu dikagumi. Tapi senja mempunyai arti
tersendiri di sudut hatimu.
Senja, sebegitu indah kah dia bagimu?
“Ada nuansa magis ketika kau melihat senja. Tak
sekedar siluet-siluet mega yang terbiaskan oleh cahaya matahari yang mulai
tenggelam. Senja, saat itulah para malaikat membawa doa para hamba menuju
arsy,” jelasmu padaku.
“Begitu ya? apakah para malaikat itu juga membawa
doaku?” tanyaku dengan heran.
“Para malaikat membawa setiap doa anak manusia untuk
disampaikan pada Sang Pemilik Senja. Termasuk doamu,” kau tersenyum
mengatakannya.
Duhai malaikat, bawalah doaku pada-Nya. Bawalah
untaian Rabithah ini ke Arsy-Nya.
Bawalah segenap kekagumanku pada-Nya. Kekagumanku dengan ciptaanNya yang sangat
mengagumi senja.
*
Aku hanya mengingat senja ketika kelopak kambojaku
merekah. Aku selalu berharap hatiku bisa merekah seperti kamboja.
Seperti senja sore itu, di tepi danau Salsabila.
Danau Salsabila, sebuah danau di dalam komplek kampus
UMS menawarkan suasana tersendiri untuk menikmati senja. Lambaian daun teratai
dan kecipak air oleh ikan mas, mujair dan lele semakin menambah eksotis.
Burung-burung sendari beterbangan di atas danau. Bercengkrama dan
berkejar-kejaran, kadang malu-malu menenggelamkan kakinya ke dalam air dengan
cepat, lalu terbang lagi.
Sore itu, senja diwarnai gelapnya mendung.
Kau masih duduk di sampingku. Diam. Dan hanya terdiam.
Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan. Tapi tak kuasa untuk mengatakannya.
Bahkan aku tak sanggup melihat raut wajahmu.
“Nay, mas mau pulang ke Medan. Doakan mas ya Nay,”
katamu lirih.
Angin berhembus membelai tubuhku. Rintik hujan mulai
turun. Tapi aku tak peduli.
Aku masih memegang kambojaku dengan erat. Kamboja yang
ingin kutanam di tepi danau. Tapi urung kulakukan karena mendengar berita
darimu.
“Secepat itu kah mas? Kenapa tak tinggal di sini untuk
beberapa waktu?,” kataku memohon.
“Mas sudah janji sama mamak dan bapak mas untuk segera
pulang setelah menyelesaikan studi, tapi mas ndak akan pernah melupakan Solo
Nay, melupakan Nay, sahabat terbaik yang pernah mas kenal. Maafkan mas atas
segala salah dan khilaf yang mas lakuin sama Nay,” jelasmu padaku.
“Mas..Mas Nazrul..,” isakku “aku tahu, aku nggak akan
pernah bisa memekarkan kelopak kamboja di hati mas. Jangankan mekar,
menumbuhkannya pun sulit. Aku tahu kelopak kamboja itu bukan milikku. Tapi
untuk saat ini, kumohon bawalah pohon kamboja ini ke rumahmu mas. Bawalah ini ke
tanah seberang. Rawatlah ia sebagai pengingat bahwa mas pernah punya seorang
sahabat bernama Rinai,”
Aku urung menanam kambojaku bersamanya. Kuberikan
kamboja itu padanya.
Aku tak sanggup melihatnya lagi.
Duhai Rinai, tak reda juga raut cemberutmu. Nikmati
saja cuaca hari ini.
Sebentar lagi
mendung berwajah pelangi.
*
Hari ini, kulihat senja semakin murung.
Aku teringat dengan kamboja yang kau bawa pulang ke
tanah seberang. Akankah helai-helai kamboja yang kulepas bersamamu akan tumbuh
kelopak-kelopak kamboja baru? Kelopak-kelopak kamboja yang merekah penuh warna?
Atau malah layu sebelum terkembang?
Dalam helai kamboja, aku melihat dirimu.
Meskipun aku tahu kau akan memberikan kelopak-kelopak
kamboja itu pada orang lain. Tapi tak mengapa bagiku karena aku hanya
menitipkan cintaku pada helai-helai daun kamboja. Biarlah helai-helai itu yang
memberi nafas kehidupan untuk kelopak-kelopak kamboja yang merekah di hatimu.
Sampai helai-helai daun itu gugur dari batangnya.
Kutitipkan salamku pada helai kamboja untukmu. Karena
saat ini hanya satu yang aku rasakan.
Rindu.
***
0 komentar: