GUSTI ORA SARE1
Masih sepuluh donatur lagi. Dan aku tak tahu di mana rimbanya.
Selalu
saja seperti ini tiap bulan. Kepalaku mulai cenat-cenut dibuatnya. Pandangan sekitar serasa kabur. Benda sekelilingku seperti
bergerak sendiri mengikuti kebingunganku. Amanah ini menuntutku untuk
bertanggung jawab lebih dari pada yang lain.
Sepuluh
donator, berarti harus ada Rp. 100.000 yang dikeluarkan.
Sudah
setahun ini aku menjadi koordinator donator Solopeduli, sebuah lembaga yang
menangani ZISWAF (Zakat, Infaq, Sadaqah , dan Wakaf). Pekerjaanku adalah
menjadi fasilitator para donator untuk menyumbangkan dananya. Tidak berat sih,
hanya sebagai koordinator untuk teman-teman organisasiku saja, agar mereka tak
repot datang langsung ke kantor Solopeduli.
Setiap
donasi minimal Rp. 10.000,00 para donatur mendapatkan saatu majalah Hadila
sebagai souvenir, jika wakaf minimal Rp. 35.000,00 akan mendapatkan satu buku
agenda Solopeduli. Tentu saja fasilitas seperti ini membuat semangat para
donatur. Apalagi aturan seperti itu hanya berlaku satu bulan. Donatur boleh
menjadi tetap atau tidak tetap. Sungguh cara menjadi donatur yang mudah.
Masalahnya,
bagaimana kalau donatur tetap itu menghilang tanpa kabar?
***
“Alhamdulillah Mbak, bulan ini dapetnya
Rp. 850.000,00. Soalnya ada donatur baru yang menyumbang,” kataku pada wanita
di depanku.
Aku
menyerahkan amplop cokelat berisi uang donasi dan kuitansi bukti pembayaran.
Perempuan itu adalah Mbak Hidayah, koordinator Solopeduli di atasku. Setiap
donasi terkumpul, aku harus menyetorkan padanya.
“Jazakillah ya Dik, semoga kebaikan
sampeyan dan para donatur dibalas Allah, dimudahkan rizkinya, dilancarkan
urusannya, kuliahnya cepat lulus dan mendapat jodoh bagi yang belum dapet,”
kata Mbak Hidayah sambil tersenyum padaku.
“Aamiin,”
aku mengamini doanya.
Selalu
ada perasaan senang yang menghampiri hatiku setiap mengamini doa Mbak Hidayah.
Perasaan berat hati menjadi koordinator donatur menguap entah ke mana. Walau
kadang susah mengingatkan para donatur itu untuk berdonasi, tapi setiap melihat
uang terkumpul begitu banyaknya, ada perasaan bangga dalam hatiku.
Bangga
bisa menjadi orang yang berguna.
Masalah
yang masih belum bisa kuselesaikan adalah, bagaimana mengingatkan para donatur
tetap untuk menjalankan kewajibannya. Sebenarnya bukannya aku memaksa mereka
untuk beramal. Aku tak pernah mengajak orang untuk berdonasi, aku hanya
menjelaskan. Mereka sendiri yang sukarela menjadi donatur. Jika menjadi donatur
tetap, seharusnya tiap bulan harus menyetor. Kalau tidak, aku juga yang pusing.
Donatur tak ada, sedangkan laporan harus ada. Aku adalah tipe orang yang tak
bisa galak dan tak suka melapor.
Tak
ada cara lain selain nomboki mereka walau itu berarti harus mengurangi biaya
hidupku.
Biar
Allah yang membalas semuanya. Aku ingin belajar ikhlas dari sini.
***
Bulan
ini aku benar-benar defisit. Biaya kuliah yang semakin membengkak membuatku
harus berpikir lebih untuk bisa menyambung hidup. Honor menulis yang tak
seberapa dan ditambah gaji sebagai instruktur privat harus kuatur agar bisa
mencukupi hidup. Uang kiriman orang tua tak bisa selalu kuandalkan. Harus
sering puasa juga untuk menekan pengeluaran.
Ditambah
sekarang aku harus mengeluarkan uang lebih untuk donasi orang-orang.
Tidak,
aku menepis pikiran jelek yang baru saja melintas. Aku harus ikhlas, tidak
boleh mengungkit hal itu.
Sekarang
yang terpenting adalah segera menyelesaikan cerpen yang akan kuikutkan untuk
lomba cerpen Solopos. Tak ada target dalam mengikuti lomba ini. Sungguh tak
ada. Hanya untuk membunuh waktu dan meramaikan lomba. Aku ingat kata-kata pak
Yudhi Herwibowo, optimis perlu, tapi jangan berekspetasi berlebihan.
Tulis,
kirim, lupakan. Itu saja.
Aku
hampir mendekati ending cerita ketika seorang kakak tingkatku menghampiri. Aku
mengetik cerpenku di halaman audit kampus. Tentu saja dia mudah menemuiku. Ada
apa ya? sepertinya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.
Setelah
berbasa-basi sebentar, akhirnya dia menyampaikan maksudnya.
“Ehm,
maaf, sebenarnya aku ke sini mau pinjem uang sama kamu Dream. Kalau aku nggak
bayar kost bulan ini, aku mau diusir sama ibu kostku. Aku mau pinjem Rp.
300.000,00 gitu lah. Piye? Ana ora?2,”
katanya lirih.
Aku
kehilangan selera menulis lagi. Pinjam uang? Oh aku sendiri juga tak begitu
punya, apalagi ditambah biaya untuk lomba cerpen, ngeprint, ngeburn, kirim ke
post. Apa aku harus meminjaaminya? SPPku juga belum dibayar? Bagaimana kalau
dia susah ditagih?
“Rong atus ewu ae yo mas. Aja
suwe-suwe mbalike, aku yo ra due duit3,”
Entah
apa yang merasukiku. Aku meminjaminya uang.
***
Hari
pertama masuk kuliah. Belum ada greget sama sekali. Penjelasan dosen hanya
kudengarkan sambil lalu. Masalah ekonomi keluarga masih membayangi pikiranku.
Aku belum bayar SPP. Penangguhan pembayaran yang diberikan universitas akan berakhir minggu ini. Aku harus mendapat
uang untuk membayar SPP.
Tapi
dari mana?
Drrtt..drrtt..
Ada
yang bergetar di saku rokku. Sms masuk. Dari kang Nassirun, mentor menulisku di
FLP. Ada apa ya? tumben sekali beliau sms.
Selamat ya semoga semangat!
Aku
masih bingung, tak tahu apa maksudnya. Belum sempat kubalas sms-nya. Sebuah sms
lain masuk. Dari Mas Wildan, anak FLP UNS.
Asem kowe. Pokok’e traktiran lho!
Aku
semakin bingung. Ada apa ya? sms ketiga pun masuk. Dari Aisyah, teman curhatku.
Wah nduk, akhire u iso byr SPP.
Gusti ora sare4. Bc solopos hr ni ya. hlmn trkhr.
Aku
semakin tak mengerti. Aku belum bisa mencerna apa maksud sms-sms itu. Bingung
dengan pemikiranku sendiri, sementara Bu Rini masih asik menyampaikan ceramah
yang satu kalimat pun tak kudengarkan.
***
Catatan:
1. Tuhan
nggak tidur
2. Gimana,
ada nggak?
3. Dua
ratus ribu saja ya? jangan lama-lama balikinnya, aku juga nggak punya uang
4. Wah
Nduk, akhirnya kamu bisa bayar SPP. Tuhan nggak tidur.
0 komentar: