Kisah Dua Puteri Jumper : Edisi Manjat Pagar Masjid
Aku
nggak pernah mengistimewakan malam minggu. Bagiku semua hari sama saja.
Tapi
sepertinya malam ini pantas untuk diistimewakan.
Berawal
dari keinginanku mengikuti bedah buku seorang penulis produktif dari Solo, Bu
Sanie Kuncoro di Gramedia, aku mengajak soulmateku pergi ke sana. Sebenarnya
niat awal aku ingin ngontel sendiri, tapi karena aku sedang stress tingkat
propinsi, ingin rasanya mengajak teman.
Dan
akhirnya aku gagal total mengikuti acara bedah buku karena telat. Penyebab
telat itu tiada lain kedatangan si Ayuk yang lambretttaaa. Jadi akhirnya kita
hanya melihat-lihat buku di Gramedia dan sialnya itu semakin menambah
penderitaan kita berdua. Menderita karena nggak bisa beli dan menderita karena
belum menghasilkan karya yang layak mejeng di rak buku tersebut.
Dan
yang paling membuat sesak di dada adalah bannernya mbak Dee dengan senyumnya
yang “ngece” banget, seolah memamerkan buku-buku di depannya. Awas suatu hari
nanti aku yang bakal mejeng di situ. Catat itu. *Ayuk saksinya.
Sambil
melihat-lihat buku yang pasti tidak dibeli itu kita ngobrol ngalor ngidul
tentang dunia menulis, termasuk ngobrolin ehm-penulis genre fantasi dari Madiun
itu, ya sudah bagian ini tak penting, hehe.
“Mbak
udah baca antologinya mas Chogah belum,” tanya Ayuk.
“Belum
e, berapa yo, aku pengen beli,”
Ternyata
aku tak menemukan buku itu di Gramed, stok kosong. Ya sudah akhirnya aku
memutuskan untuk membeli di Toga Mas, biasanya lebih murah. Kata Ayuk sekalian
magrib di masjid Kottabarat dan parkir di sana. Parkiran motor di Toga Mas naik
dari Rp. 500,00 menjadi Rp. 1.500,00. Itu adalah nominal yang membuat Ayuk tak
ikhlas. Mending buat ngisi kotak amal masjid katanya.
Oke,
langsung saja kita menuju masjid.
Sampai di masjid,
bressss… hujan turun dengan derasnya. Yang Buat Hujan sayang sama kita mungkin
jadi sampai di masjid baru deh hujannya turun. Alhamdulillah masih bisa ikut
jamaah. Hujan semakin turun dengan deras.
“Yuk,
nyari susu segar yuk,” ajakku.
“Iya
Mbak, jalan kaki aja ya,”
Kita
keluar dari masjid ditemani rintik hujan demi segelas susu dan sebungkus sego
kucing. Tentu Ayuk yang menjadi my guardian angel, Matamu-Mataku, seperti judul
cerpen ya. intinya aku gak jelas kalau gak pakai kacamata, jadi dia yang
nunjukin di mana warung susu segar berada.
Menu
warung ini sangat unik. Nama warungnya pun unik. SUPERBOY, SUsu PERah BOYolali.
Ada SURAMADU, COLOMADU, SUMANTO, SUHADI, TANTE SUSI dan apa lagi aku lupa yang
jelas itu semua singkatan makanan. Tapi keasyikanku makan terganggu dengan
beberapa oknum. Samping kiri orang pacaran, depan orang pacaran, samping kanan
pun tak luput. Bikin eneg saja rasanya.
“Mbak,
ternyata yang di sini pasangan semua ya,” bisik Ayuk.
“Baru
nyadar to nek kita ini pasangan yang beda sendiri?” balasku.
Jiah,
kemana-mana pasanganku ya kamu Yuk.
Selesai
makan dan membayar bon kita langsung cabut ke Toga Mas. Tentu saja melewati
masjid Kottabarat tanpa mampir untuk sholat isya’ terlebih dahulu. Dasar
koplak. Jadi kita merasa aman-aman saja meninggalkan si Beat karena parkirnya
di masjid.
Masuk
ke Toga Mas masih saja ngiler lihat buku. Hem..hem.. apa saja yang berbau buku
pasti menyesakkan jiwa dan raga jika tak bisa membelinya. Karena Ayuk lupa
judul buku antologinya mas Chogah barenng Ahmad Fuadi itu, proses mencari agak
lama, karena dicari di catalog gak muncul-muncul. Ini sih salah mind-set
pembelinya. Mana aku gak bawa kacamata. Hadeh ternyata buku itu ada di lantai
dua. Buku itu harganya Rp. 39.000,00 dapat diskon 10% jadi Rp. 35.100,00. Uang
di dompet tinggal Rp. 40.000,00. Tak apalah, itung-itung perhargaan buat teman
yang tulisannya mejeng di situ.
Mood-ku
sempat berantakan karena tiba-tiba mendapat telepon dari “adek” ku yang
tiba-tiba ngabarin kalo besok mau ikut test ke Pelembang sekalian pulang ke Bengkulu.
Dia minta ditemanin makan saat itu juga sebagai farewell. Posisiku kan lagi
jauhh. Ah dasar brondong, pengen tak buang ke laut aja tuh anak. Sukanya main
pergi, meninggalkan kepingan hatiku yang berserakan. *bagian nggak penting,
ignore.
Sepertinya
sudah malam dan saatnya pulang ke kost. Dengan PeDenya kita bermaksud mengambil
motor.
Jihaaaa..kejutan.
GERBANG MASJID DIKUNCI.
Aku
nggak berpikir sedikitpun kalau masjid ini nggak buka 24 jam. Kan ini jalan
rame, gimana kalau ada orang mau mampir sholat?
Si
Beat masih melambai-lambai di dalam. Kita hanya bisa melihatnya dengan merana.
“Mbak
gimana dong?,” Ayuk mulai cemas.
“Periksa
saja dulu di semua lini gerbang,” jawabku mencoba bijak. *padahal aslinya juga
panik.
Depan,
samping kanan, samping kiri. Semua terkunci.
Takmirnya
pasti di dalam. Menggedor sekuat tenaga pun nggak bakal kedengeran. Aku mencoba
menenangkan pikiran. Aku pernah terjebak di kamar mandi perpus yang sepi,
pernah tidur di terminal gara-gara ketinggalan bus terakhir, menurutku dua kejadian
itu lebih horror daripada ini.
“Mbak,
kayaknya kisah kisa asyik ya kalo dijadiin cerpen,”
Pletakk…
dasar Ayuk. Beginilah kalau berkawan dengan orang yang suka dengan dunia
menulis. Nggak mikir solusi pulang gimana, tapi malah kepikiran membuat cerpen.
Oke, sebenarnya aku pun berpikir begitu. Hehe.
Kita
pun berpandang-pandangan dan memikirkan satu ide gila yang masuk akal tapi
cukup memalukan.
“Serius
Yuk? Wah bakalan turun derajat nih aku, oh no. Seorang Jilababer, mbak mentor,
calon guru, dan pakai rok harus…,”
“Aku
aja duluan mbak,” Ayuk memotong argumentku.
“Eh
Mbak, sebenernya aku nggak pernah manjat lho, ini pertama kali aku manjat pagar
dan.. pagar masjid lagi,”
“Yowes,
kan kamu yang pakai celana. Lebih gampang. Tapi kita cari tempat yang sepi
aja,”
Kita
pun menunggu sepi, setidaknya sedikit orang yang lewat. Dan aksi pun dimulai.
Untung
saja pagarnya nggak tinggi dan nggak ada pengamannya. Coba kalau ada pecahan
kaca, kawat atau setrum misalnya,
Ayuk
sukses masuk dalam dimensi yang berbeda. Dia di dalam, aku di luar.
“Kamu
periksa di dalem dulu, siapa tahu ketemu takmirnya. Aku nunggu di sini aja,”
Menunggu
sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku. Dan hasilnya tak memuaskan. Ayuk
kembali dengan tangan hampa dan harapan kosong.
“Aku
nggak berani masuk Mbak, nggak ada orang, adanya tuh dapur dan kelas-kelas.”
Halah
akhirnya aku harus mengingat-ingat kemampuanku jaman SMA dan sudah diakui
seantero sekolah. Manjat jendela kelas kalau telat masuk. Oke, sepertinya aku
harus mengulang masa lalu yang kelam itu di sini. Di pagar masjid Kottabarat.
Huft..
manjat pager dengan memakai rok sungguh bukan cara yang bijak. Tak kubayangkan
ustadz Rifky melihat aksiku, pasti aku sudah dicoret dari daftar calon
istrinya. *lha kok PeDe. Mana aku nanggung banget, posisi nanggung gitu ada
ibu-ibu lewat naik sepeda dan pandangan matanya itu lho, sesuatu banget. Halah
prinsip orang Jawa “rai gedhek” (muka
tembok) harus diterapkan di sini. Hidup mulia atau mati syahid, merdeka atau
mati, manjat pager atau nggak pulang.
“Mbak,
gimana nih, kalau nggak bisa pulang. Besok kan aku ada acara kumpulnya jam 5
pagi,” Ayuk mulai cemas lagi.
“Ya
udah tidur masjid aja. Gitu aja kok repot,” saranku.
“Haa??
Tidur masjid?? Nggak banget,”
Daripada
tidur di terminal, pikirku.
Kita
pun mencari-cari tanda-tanda kehidupan di sekitar masjid. Sepi. Akhirnya kita
pun naik ke atas. Dan ternyata Ayuk nggak bohong. Tempatnya memang lumayan
horror, ada terowongan gelap, mengingatkanku pada terowongan Casabalanca. Imajinasiku
pun bergerilya kemana-mana.
Terdengar
suara mas-mas. Alhamdulillah, sorakku dalam hati, kita selamat. Mas-mas itu
turun dan lumayan kaget. Wajar lah, sepi-sepi gini tiba-tiba ada dua cewek imut
naik ke asrama takmir.
“Mas,
gerbangnya dikunci, kita nggak bisa keluar,” kataku berusaha menyadarkannya
kalau kita ini manusia.
“Oh
nggih Mbak, sekedhap, tak ngambil kunci,” katanya masih keheranan.
Aku
dan Ayuk turun dan berniat mengambil motor. Mas itu turun membawa kunci.
Seperti menyadari sesuatu yang aneh, dia pun bertanya.
“Lho
Mbak, tadi masuk lewat mana?,”
Aku
hanya cengar-cengir. “Hehe.. menek
pager mas,” ampun dah, jujur banget, turun derajat tenan iki.
Akhirnya
pintu gerbang pun terbuka.
“Suwun
ya Mas,” kataku berterima kasih. Mas itu tersenyum dengan senyum yang masih
aneh.
Belum
ada dua meter jalan, rokku terkena cipratan genangan air. Basah separo.
Huft.. sial banget sih malam ini.
Hujan
turun lagi. Sesampai di kost sepertinya aku harus sujud syukur dan sholat
tobat. *sholat isya’ dulu woey, tadi kan belum, makanya dihukum manjat pager.
0 komentar: