AKU DAN IMPIAN MENULISKU
Nama yang besar mempunyai tanggung jawab yang besar pula. Aku lupa di mana mendengar atau membaca kalimat itu. Tapi kalimat itu sungguh sakti, mengusik pikiranku setiap hari.Ah, namaku Impian. Nama yang unik bukan? Aku selalu dianggap berbohong jika menyebutkan namaku. Padahal namaku 100% asli pemberiaan dari orang tuaku. Ya, mereka memberikanku nama yang hebat sebagai doa dan agar aku mempunyai tanggung jawab untuk meraihnya. Aku berani bermimpi, dan harus berani memperjuangkan impianku, seperti namaku.
***
Aku suka membaca, aku suka menulis. Sejak kecil aku selalu berandai-andai suatu saat nanti aku akan menjadi penulis besar, penulis yang bisa menginspirasi orang lain. Apalagi bapakku yang selalu mengompori aku untuk menjadi novelis, saat itu aku tak mengerti apa itu novelis, yang aku inginkan hanya ingin menjadi penulis. Itu saja.
Aku tak punya mesin ketik, jangan tanya komputer apalagi laptop, jaman itu belum ngetrend seperti sekarang. Hanya pena dan kertas yang selalu menjadi temanku. Aku menulis apa saja, terkadang aku membuat ilustrasi untuk ceritaku sendiri, mengandai-andaikan seperti cerpen-cerpen di majalah, aku tertawa sendiri.
Masa-masa SMA aku semakin menunjukkan keseriusanku dalam menulis. Aku banyak mengirimkan tulisan di berbagai majalah dan surat kabar. Tulisan pertamaku berhasil ditemukan temanku di tempat sampah, sebuah puisi berjudul “Medali Kebanggaan” yang tak jelas nasibnya. Tanpa pemberitahuan, apalagi honor. Tapi itu sudah cukup membuatku senang karena ada karyaku yang berhasil dimuat di media.
Waktu itu aku punya majalah favorit, Teen nama majalah itu. Aku banyak menulis surat, komentar, dan cerpen. Apa saja kutulis sesuai rubrik majalah itu. Hampir semua tulisanku dimuat. Aku juga banyak mendapat sahabat pena. Rasanya senang sekali. Puncak kesenanganku ketika cerpenku dimuat pertama kali oleh Teen, aku tak menyangka sekali cerpenku bisa dimuat di majalah remaja nasional. Aku semakin percaya dengan mimpi dan usahaku.
Rasanya senang ketika petugas TU memanggilku karena mendapat kiriman paket buku, kaos atau apa saja dari majalah yang memuat tulisanku. Juga perlahan-lahan rekeningku bertambah nominalnya. Aku tak harus meminta uang orang tuaku untuk membeli buku-buku yang kuinginkan.
***
Aku vakum menulis selama satu tahun, entah apa yang kupikirkan saat itu, aku hampir lupa dengan impianku menjadi penulis. Aku terlalu terforsir untuk persiapan masuk ke PTN, dan akhirnya aku tak masuk PTN manapun dan dengan jalan apapun. Aku terpuruk.
Aku terdampar di sebuah universitas swasta yang menjadi tempatku menuntut ilmu sampai sekarang. Aku sempat frustasi karena merasa kurang bergengsi. Tapi aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri. Aku mulai menulis lagi untuk melepaskan kegalauanku.
Mulailah aku bergabung dengan komunitas-komunitas sastra di kota tempatku kuliah. Aku banyak mengenal penulis-penulis hebat yang dulu hanya bisa kubaca profilnya, sekarang bertemu mereka sudah biasa. Senang sekali mendapatkan ilmu dari mereka. ternyata kemampuan menulisku belum seberapa, aku mulai membenahi kesalahan-kesalahan menulis yang dulu sering kulakukan.
Aku juga rajin membaca majalah-majalah fiksi yang memuat banyak cerpen-cerpen remaja. Salah satunya adalah Story. Aku mengenal lebih banyak penulis dari sana, aku add semua penulis yang ada di majalah tersebut. Mereka ramah dan tidak pelit dalam berbagi ilmu. Beberapa di antaranya malah menjadi teman dekatku sampai sekarang.
Waktu itu bulan puasa Agustus 2011, koran lokal Solopos mengadakan lomba cerpen untuk memperingati HUT Solopos ke-14. Iseng-iseng saja aku mengirimkan naskahku yang kutulis seenaknya sendiri. Tak ada obsesi apapun. Karena naskah itu sudah dirijek Annida, aku agak pesimis naskahku akan dilirik juri. Aku tak peduli, tanggal pengumuman juaara cerpen itu pun aku tak mau tahu.
Ternyata Tuhan punya rencana lain, aku kaget mendapat sms dari mentaor menulis dan teman satu komunitas bahwa aku lolos menjadi juara. Segera setelah kuliah selesai aku menuju tukang koran langgananku. Kubeli koran itu, kubuka halaman paling belakang. Seperti mimpi aku meraba namaku di situ, juara 1, aku tak percaya aku juara 1, dua juta rupiah, 800 peserta. Membayangkan menjadi juara 3 saja aku tak berani, tapi sekarang aku mendapat juara 1. Aku langsung sujud syukur atas keajaiban itu. Seumur-umur aku tak pernah menjadi juara di ajang menulis mana pun. Aku senang dengan uang itu bisa membayar uang kuliah dan membelikan hape untuk ibuku.
Sepertinya kemenangan itu menjadi pintu kemenangan berikutnya. Aku juga mendapat juara 1 untuk event lomba cerpen “Aku dan Grobogan” di akhir tahun, juga juara harapan 5 lomba cermin Ilmanafia. Beberapa tulisanku juga dimuat di majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat dan di koran lainnya serta masuk di beberapa antologi. Aku juga lolos di Antologi Taman Budaya Jawa Tengah dan berkesempatan membaca cerpenku di panggung, padahal tahun sebelumnya aku hanya menjadi penonton, seperti mimpi sekarang aku menjadi yang ditonton.
Untuk menghargai usahaku, ibuku mebuatkan aku “Kaidah Kosong”, sebuah lemari yang hanya boleh diisi dengan buku-buku atau tulisan-tulisan karyaku. Aku hanya berani pulang ke rumah kalau tulisanku ada yang dimuat, malu rasanya jika tak bisa mengisi kaidah kosong tersebut.
Nama yang besar mempunyai tanggung jawab yang besar pula. Ah, kalimat itu memang benar adanya.
***
like it
BalasHapustengkyu
Hapus