Puisiku di Joglosemar, 20 Februari 2013
Hujan Pertama
Aku masih ingat saat
itu
Rintik hujan pertama
di bulan Oktober
Kau bawa dalam basahmu
Rinai-rinai kecil
Beraroma tanah
Saat itu gerimis
pertama
Oktober, saat kau tak
datang
Melihat goresan
bianglala di ujung senja
Menyelami eloknya
bukit derkuku
Oktober, dalam
keraguan rintik hujan
Bersandar aku dalam
rebahmu
Terigau aku dalam
sadarmu
Lapukmu, kuatku
Tangismu, asaku
Dalam kenangan hujan
pertama
Senja hari di bulan
Oktober.
Rahasia Sebuah Cerita
Kukatakan
padamu tentang sebuah cerita
Sebab
kau adalah sang pengeja kata
Pada
seonggok kertas rapuh
Yang
penuh dengan cucuran peluh
Kukatakan
padamu tentang sebuah cerita
Sebab
kau adalah sang perenda cinta
Pada
wajah duka
Di
balik kaca
Kukatakan
padamu tentang sebuah cerita
Sebab
kau adalah sang perajut asa
Kau
kerat sepotong senja
Membingkainya
dalam figura
Kukatakan
padamu tentang satu cerita
Ketika
kau muncul di beranda
Membuat
satu diorama
Hanya
tuk ucapkan satu kata : sayonara
Katakan
saja padaku satu rahasiamu
Tentang
arti tatapan matamu
Pada
ujung senja
Kereta
terakhir menuju Jogja
Jangan
kau lakukan itu padaku
Sebab
hanya akan menyayat kalbu
Menambah
pilu
Menanam
sembilu
“Lepaskan
aku sayang, biarkan aku terbang
Ijinkan
aku pulang, ke negeri seberang
Jangan
tunggu aku sayang, aku yang hanya bayang-bayang
Carilah
dunia terang, yang tak penuh dengan ilalang”
Angin
berhembus masam
Langit
suram
Hujan
jatuh ragu-ragu
Solo,
dalam kamar inspirasi
Selasa,
15 November 2011, 22.45 WIB
Medali Kebanggaan
Hai bintang…
Mengapa kau hanya diam
Melihatku terhina
Angin malam…
Aku terbuang
Seperti onggokan sampah
Di tepi jalan
Juga kau bulan..
Mengapa kau hanya mengintip di balik awan?
Apa kau jijik melihatku?
Angin…
Hembusanmu menusuk tulangku
Seperti tikaman mulut mereka kepadaku
Aku heran…
Mengapa kemunafikan
Jadi perhiasan saat ini
Aku bingung…
Hidup ini hamil oleh khianat
Munafik!
Inikah medali kebanggaan saat ini?
Selalu Menjadi Pagi
Semburat pagi, aku
melihat semburat pagi
Susah payah ia
menembus celah dinding kamarku
Semburat pagi, Aku
ingin seperti semburat pagi
Yang bisa menembus
celah kecil
Diantara angkuhnya
dinding
Wangi pagi, aku
mencium wangi pagi
Aromanya masih kuingat
sampai kini
Wangi pagi, aku ingin
menjadi wangi pagi
Yang sibuk mengaromai
semesta
Bahkan saat embun
undur diri
Ijinkan aku menjadi
pagi
Selalu pagi dalam
siang benderang
Senja merona
Malam temaram
Hujan menunjam
Apapun itu
Aku ingin selalu
menjadi pagi
Pagi yang tak pernah
ingkar janji
0 komentar: