Untuk Apa Sih, Nulis?
“Untuk
apa sih nulis?”
Itu
adalah pertanyaan yang dilontarkan seseorang pada saya ketika saya sedang sibuk
menulis. Mungkin banyak diantara kita melontarkan pertanyaan yang kurang lebih
sama. Nulis kan susah, buat apa sih repot-repot menulis?
Saya
teringat dengan kata-kata penulis sekaligus pendiri Forum Lingkar Pena (FLP).
Helvy Tiana Rosa. Beliau mengatakan “Kalau kita menulis, berarti kita
menyampaikaan gagasan kita, entah itu fiksi maupun non-fiksi, pasti ada
pemikiran di sana yang kita tuang untuk disampaikan kepada orang lain. Dan itu,
tentu saja, hanya orang kaya saja yang bisa melakukannya. Orang yang memiliki
kekayaan jiwa dan wawasan.”
Jadi,
kalau saat ini anda adalah seorang
penulis pemula, atau bahkan masih calon penulis, berarti anda sudah masuk
lingkaran orang-orang kaya!
Menulis Untuk Melegenda
Untuk
apa melegenda? Perlukah itu? Tidak. Kita tidak perlu. Tapi generasi setelah
kita yang memerlukannya. Mereka butuh inspirasi dan inspirasi selalu lebih
mengena dan mereka percayai jika datang dari generasi sebelum mereka. Dengan
begitu, kita tidak hanya berbagi inspirasi, tapi kita juga menuai pahala yang
tak kenal henti.
Jika
kita tak melegenda, tentu mereka tidak tahu kalau kita ada. Jika kita tak
berkarya, tentu mereka tak bisa mengambil kita sebagai inspirasinya. Jika Imam
Bukhari melegenda lewat Shahih-nya, J.K Rowling melegenda lewat Harry
Potter-nya, Andrea Hirata melegenda lewat Laskar Pelangi-nya. Lalu anda
melegenda lewat karya apa?
Sama
seperti saya. Kita sama-sama belum punya. Tapi di sini kita belajar dari
pertanyaan itu. Di sini adalah terminal keberangkatan atas sebuah penyadaran,
kita harus sama seperti mereka atau bahkan lebih.
Bekal Menulis
Menulis
tidak sekedar menuangkan tulisan, tentu saja ada bekal yang menyertainya.
1.
Membaca
Membaca
adalah aktivitas yang wajib dijalani seorang penulis. Mustahil kita
menghasilkan tulisan yang bagus tanpa membaca. Ada yang menyamakan membaca
dengan makan dan maaf, pup/BAB. Semakin kita banyak makan, semakin banyak kita
pup. Semakin banyak membaca semakin banyak karya yang kita hasilkan. Membaca
tidak hanya buku tapi juga membaca koran, majalah, televisi, lingkungan,
perjalanan, internet, film, karakter orang dan lain-lain. Mulailah membaca
bacaan yang anda sukai sebelum membaca yang lain. Bukankah wahyu Allah yang
turun pertama adalah kata “Iqro’?”
2.
Perbanyak silaturahmi dan Jalan-jalan
Silaturahmi
mendatangkan pintu rizki. Dalam hal ini mengenai dunia kepenulisan memang benar
adanya. Perbanyaklah relasi atau link untuk memperkaya wawasan kita. Saya juga
mengikuti forum-forum seperti FLP, komunitas sastra Pawon, Gerakan Pena
Nusantara (GPN) dan banyak grup kepenulisan di Facebook. Saya banyak belajar
dari orang-orang tersebut. Bahkan teman-teman dari dunia maya tersebut banyak
membantu dalam proses kepenulisan saya karena sering ngobrol, sharing dan
sebagainya. Jalan-jalan juga memperkaya tulisan kita, tidak harus perjalanan
yang jauh. Sekitar kita pun bisa memunculkan inspirasi yang tak terduga.
3.
Belajar dan Berlatih
Pahami
beberapa aturan dalam menulis. Karena kita menulis tidak hanya sekedar menulis.
Terutama tentang strrukturalisasi, dan EYD. Banyak naskah yang isinya bagus
tapi strukturalisasinya amburadul.
Hal ini membuat juri atau editor malas membaca tulisan kita. Walau sebenarnya
isi dari tulisan itu bagus. Sebaliknya jika isi kita kurang bagus tapi
strukturalisasinya bagus kita akan diberi arahan untuk merevisi tulisan kita.
Jangan hanya karena strukturalisasi tulisan kita gagal menjadi yang terbaik.
Naskah saya pernah dilempar di hadapan saya oleh pak Langit Kresna Hariadi,
penulis novel best seller Gajah Mada, karena strukturalisasinya yang katanya
membuat mata sepet. Saya berterima kasih pada beliau karena pernah membuang
naskah saya, karena saya jadi tahu di mana kesalahan saya.
4.
Niat dan kedisiplinan.
Menulis
harus disertai niat dan kesungguhan. Niat pun tak cukup, kedisiplinan juga
penting. Jangan menjadikan kesibukan, kecapekan, dan tak sempat nulis karena tak ada waktu sebagai
alasan kita. Itu hanyalah pembenaran dari diri kita sendiri untuk tidak
menulis.
Dan
masih banyak lagi bekal menulis yang hanya dipunyai oleh masing-masing
individu.
Pengalaman Menulis
Pengalaman
menulis saya memang belum seberapa. Tapi semoga hal yang sedikit ini bisa
menjadi tambahan pengalaman bagi yang lain.
Saya
senang membaca dan menulis terutama Fiksi. Karena memang genre itu yang saya
sukai. Mulai dari cerpen, cerbung, novelet, cerkak, dan kadang-kadang puisi dan
geguritan. Saya akui saya memang kurang bisa menulis non-fiksi. Saya senang
berkhayal, itu modal pertama saya.
Tulisan
pertama saya yang dimuat adalah sebuah puisi berjudul “Medali Kebanggaan” di
koran Inspirasi, koran untuk guru di Jawa Tengah. Waktu itu saya kelas dua SMA.
Rasanya seperti melayang, susah untuk dideskripsikan. Senang sekali melihat
tulisan saya dimuat dan dibaca orang lain.
Cerpen
pertama saya dimuat juga sewaktu saya kelas dua SMA, berjudul “ME: Si Nezza
Trouble Maker” di tabloid remaja Teen. Hampir satu tahun saya menunggu dan
tidak berharap kalau cerpen tersebut akan dimuat, karena majalah itu skalanya
nasional, rasa minder pun muncul dari dalam diri saya. Tapi ternyata takdir
berkata lain. honor dari pemuatan cerpen tersebut adalah honor pertama saya
yang paling besar, waktu itu Rp. 150.000,00. Langsung saya gunakan untuk membeli
novel Ketika Cinta Bertasbih yang saat itu sedang booming. Senang bisa membeli novel dengan uang sendiri. Keberanian
untuk menulis pun muncul. Seiring waktu tulisan saya sering dimuat di majalah
Teen dan majalah Hidayah. Sayangnya saya tidak mengarsipkan tulisan tersebut.
Satu
setengah tahun berikutnya adalah masa writers block saya yang paling akut. Tak
memproduksi karya apapun. Kevakuman yang saat ini sangat saya sesali. Waktu
yang demikian banyak telah saya sia-siakan.
Keinginan
untuk menulis muncul lagi. Bulan Juni 2011 saya mengirim geguritan, puisi
bahasa Jawa berjudul “Goncahing Alam” yang kemudian dimuat di majalah Panjebar
Semangat bulan Juli 2011. Artikel lucu saya yang berjudul “Demi Tiket Mudik”
dimuat Solopos dalam rubrik Ah Tenane,
tanggal 24 Agustus 2011. Saya suka sekali menulis untuk rubrik itu karena
menurut saya tidak usah njlimet berfikir untuk menuliskannya, pemuatannya tidak
lama dan honor lumayan. Kemudian Geguritan saya yang berjudul “Sugeng Riaya
Fitri” dimuat di majalah Embun untuk edisi lebaran.
Pengalaman
yang tak terlupakan bagi saya adalah ketika mengikuti lomba menulis cerpen
Solopos yang diadakan bulan Agustus 2011. Sebenarnya tak ada greget sama sekali
untuk mengikuti lomba tersebut. Sudah berpuluh-puluh lomba saya ikuti tapi
selalu gagal. Apalagi peserta lomba cerpen Solopos ini orang-orang yang hebat.
Teman-teman Laskar Kang Nass, FLP UNS, dan beberapa penulis hebat yang saya
kenal. Jika tak ada dorongan dari teman saya untuk mengirimkannya saya tak akan
mengirimkan. Naskah yang saya ikutkan tersebut sudah saya buang di tempat
sampah karena tak dimuat di manapun, Annida pun sudah merijeknya disertai
kritikan yang lumayan membuat down.
Annida sudah merijek, mana mungkin bisa menang lomba Solopos yang pesertanya
mencapai 800-an orang?
Ternyata
perkiraan saya meleset, naskah saya yang berjudul “Tarawih Siang” itu keluar
menjadi juara 1 kategori remaja. Saya saja tak mempedulikan kapan pengumuman
lomba tersebut. Teman-teman Laskar Kang Nass yang memberi tahu saya lewat sms.
Saya fikir yang jadi juara beberapa orang dari mereka. ternyata tak ada satu
pun dari anggota Laskar Kang Nass yang mendapat juara. Dan saya malah mendapat
juara 1. Hadiah uang tunai dua juta tentu bukan nilai yang sedikit di mata
saya. Saya sangat besyukur kepada Allah bisa membayar SPP dengan uang saya
sendiri dan membelikan HP untuk ibu saya dan masih ada sisa untuk membeli buku
dan mentraktir teman. Teringat kata-kata Pak Yudhi Herwibowo, optimis perlu,
tapi jangan berekspetasi berlebihan. Kadang-kadang sesuatu yang tidak kita
harapkan malah memberi kejutan pada kita.
Artikel
“Mak jegurr” saya juga dimuat lagi di rubrik Ah Tenane tanggal 26 September
2011, disusul cerkak “Satriya Onthelku” di Panjebar Semangat Oktober 2011.
Akhir tahun ini menjadi saat yang menggembirakan karena cerpen saya yang
berjudul “Balada Garam Bledhug” mendapat juara 1 dalam lomba Cerpen GPN
Purwodadi. Saat ini saya sedang menunggu cerpen saya yang akan diterbitkan
dalam antologi bersama oleh penerbit Leutika Prio, Yogyakarta.
Saya
semakin mencintai dunia membaca dan menulis. Karena jika ingin mengenal dunia,
maka membacalah, jika ingin dikenal dunia, maka menulislah, dan jika ingin
mengenal dan dikenal dunia, maka menbaca dan menulislah. Membaca dan menulis,
adalah satu paket kegiatan yang bisa mengguncang dunia.
Impian
Nopitasari, mahasiswi semester lima Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Anggota Forum Lingkar Pena UMS, aktif di grup
kepenulisan Forum Tinta Sahabat dan Gerakan Pena Nusantara Purwodadi
0 komentar: