Cerpenku Juara 1 Lomba Cerpen HUT ke-14 Solopos

09.52 Impian Nopitasari 0 Comments


TARAWIH SIANG

Entah sudah berapa kali Ridho berusaha memejamkan matanya. Namun kelopak matanya tak mau diajak kompromi. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Sepasang cecak sedang asik memadu kasih. Saking asiknya, mereka tak peduli kalau aksinya ditonton oleh manusia di bawah langit-langit kamar.
Tontonan yang sama sekali tak asik.
Sudah seminggu ini di kampung Ridho digegerkan dengan fatwa seorang ustadz imam mushola yang menganjurkan untuk melaksanakan sholat tarawih di siang hari, ba’da dhuhur. Kontan saja hal ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Mereka langsung mengecap sang ustadz dengan sebutan ustadz kafir. Ini masalah serius bagi Ridho, karena dia adalah murid dari sang ustadz.
Bisa-bisa dia dicap sesat!.
*
Edan!, mana ada tarawih di siang hari?? Wis keblinger tenan ustadz siji kae, sesat!” Kata seorang penduduk kampung.
“Benar! Sekarang banyak aliran sesat! Tapi nggak nyangka aja bisa nyampai ke kampung kita!” Kata yang lain menimpali.
“Jadi, kita harus kepriye?” imbuh satunya.
“Bakar saja musholanya!” Yang lain memberikan usul.
Edan! itu mushola juga kita-kita yang bangun, jangan anarki lah, Mbok ya dibicarakan dulu dengan kepala dingin sedulur-sedulur,” Orang yang paling tua diantara mereka mencoba meredam suasana.
Ridho tak sengaja mendengar pembicaraan mereka di warung Bu Ning, tetangganya. Niat membeli nasi terpaksa ia urungkan demi menghindari konfrontasi.
Ia belum siap menghadapi semua kekacauan ini.
Sepanjang jalan fikiran Ridho tak tentu. Sekali-kali ditendangnya kerikil di sepanjang jalan kampungnya. Sebenarnya kerikil itu ingin protes dengan membuat luka di kaki Ridho. Tapi apa daya, permukaan dan ukurannya tak memenuhi syarat untuk melukai kaki orang.
“Aku harus menemui Ustadz Ahmad,” kata Ridho dalam hati.
Langkah kaki Ridho membawanya ke mushola tempat ustadz Ahmad tinggal. Setelah mengucap salam dan dijawab oleh yang bersangkutan. Ridho langsung menumpahkan semua uneg-unegnya di depan ustadz Ahmad.
“Sebenarnya apa maksud ustadz mengeluarkan fatwa ngawur seperti itu? Panjenengan ini panutan di kampung kita, kenapa tega berbuat seperti itu?” kata Ridho bersungut-sungut.
 Keringat yang menetes dari dahinya tak dipedulikannya. Toh bajunya sudah basah kuyup oleh keringat.
Yang diajak bicara hanya senyum saja. Senyum yang mengundang sejuta tanda tanya.
Senyum yang membuat Ridho semakin jengkel. Apa sih mau gurunya itu.
Ane hanya memberikan solusi pada masyarakat, ente keberatan Dho?” jawab ustadz Ahmad enteng. Pandangannya tak lepas dari buku Ihya’ Ulumiddin-nya Imam Ghozali.
Ridho semakin meradang, ketidakpahaman dan kejengkelan bercampur aduk menjadi satu. Ia adalah murid ustadz Ahmad dan mau tak mau juga terkena imbas dari tingkah gurunya itu. Orang tuanya melarang dia mengaji lagi ke ustadz Ahmad, takut ketularan sesat katanya.
Penduduk kampung ikut-ikutan mengucilkan dia.
Semua ini semakin membuat Ridho stress.
“Bukan kah orang-orang di kampung kita super sibuk sehingga merasa capek di malam hari untuk sekadar sholat tarawih berjamaah di mushola?” ustadz Ahmad mulai berargumen.
Ridho tak bergeming dari tempatnya. Didengarnya ocehan gurunya itu tanpa ia komentari.
“Bahkan sholat wajib berjamaah pun sepi peminat, ente tahu sendiri kan jamaah sholat di mushola ini hanya orang itu-itu saja,” Ustadz Ahmad menatap muridnya.
Ridho mengangguk mengiyakan. Dia yang bertugas sebagai muadzin sampai bosan melihat jamaah yang tak kunjung bertambah.
Orang-orang di kampungnya memang susah diajak ke mushola.
“Banyaknya kemalingan di kampung sebelah juga menjadi alasan penduduk untuk tidak tarawih di mushola! alasan keamanan menjadi dalih untuk meninggalkan sunnah di bulan suci! tak ada yang berminat meramaikan mushola! mushola kita kalah dengan kuburan!” kata ustadz Ahmad sambil menghela napas.
Ada raut keprihatinan di wajahnya.
“Karena itu ane menyuruh mereka untuk tarawih di siang hari saja agar malamnya bisa beristirahat dan menjaga rumah. Jadi tak ada alasan untuk tidak ke mushola. Toh kebanyakan penduduk kampung kita menganggur jam segitu,” ustadz Ahmad mencoba memberi alasan.
Ridho semakin bingung dengan sikap gurunya yang nyleneh tersebut. Apa maksudnya memberi fatwa untuk tarawih di siang hari. Walau diakuinya memang susah mengajak masyarakat kampung untuk sholat berjamaah, terutama yang laki-laki. Apalagi sholat tarawih yang terhitung sunnah. Mereka bilang ingin sholat di rumah saja.
Padahal  belum tentu juga mereka kerjakan.
Tapi apakah harus tarawih di siang hari?
“Tapi kata-kata Ustadz tidak bisa diterima dari sisi manapun, apalagi penduduk kampung ini yang mudah tersulut emosinya.” Ridho memprotes gurunya.
“Sepertinya kau belum menghayati cerita nabi Khidir dan nabi Musa.” Jawab sang ustadz santai.
*
Sementara itu di luar mushola penduduk menggelar rapat darurat untuk menentukan sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada ustadz Ahmad yang mereka nilai telah membuat keruh suasana kampung.
“Ini masalah akidah. Tak bisa seenaknya dia membuat fatwa ngawur seperti itu. Kita harus berani menentang kesesatan.” kata pak lurah dan diamini oleh semua jajaran dan rakyatnya.
“Usir saja ustadz kafir itu pak Lurah!” kata salah satu peserta rapat.
Dan ternyata usul itu langsung diterima oleh forum. Saat itu juga mereka mengerahkan massa untuk menuju mushola guna melakukan pengusiran secepatnya.
Ridho telah mengumandangkan adzan dhuhur dan sekarang sedang membaca iqomat. Mushola masih kosong, kecuali sang imam dan muadzinnya.
“Mulai sholat sekarang ustadz?” tanya Ridho meyakinkan.
Yang ditanya tak segera menjawab tapi malah memandang ke luar mushola. Terlihat iring-iringan massa menuju mushola.
Ustadz Ahmad tersenyum.
“Sebentar, kita tunggu calon jamaah di luar mushola itu.” Kata ustadz Ahmad dengan mata berbinar.
****





You Might Also Like

0 komentar: