Cerpenku Juara 1 Lomba Cerpen HUT ke-14 Solopos
TARAWIH SIANG
Entah
sudah berapa kali Ridho berusaha memejamkan matanya. Namun kelopak matanya tak
mau diajak kompromi. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar. Sepasang
cecak sedang asik memadu kasih. Saking asiknya, mereka tak peduli kalau aksinya
ditonton oleh manusia di bawah langit-langit kamar.
Tontonan
yang sama sekali tak asik.
Sudah
seminggu ini di kampung Ridho digegerkan dengan fatwa seorang ustadz imam
mushola yang menganjurkan untuk melaksanakan sholat tarawih di siang hari,
ba’da dhuhur. Kontan saja hal ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat.
Mereka langsung mengecap sang ustadz dengan sebutan ustadz kafir. Ini masalah
serius bagi Ridho, karena dia adalah murid dari sang ustadz.
Bisa-bisa
dia dicap sesat!.
*
“Edan!, mana ada tarawih di siang hari?? Wis keblinger tenan ustadz siji kae,
sesat!” Kata seorang penduduk kampung.
“Benar!
Sekarang banyak aliran sesat! Tapi nggak nyangka aja bisa nyampai ke kampung
kita!” Kata yang lain menimpali.
“Jadi,
kita harus kepriye?” imbuh satunya.
“Bakar
saja musholanya!” Yang lain memberikan usul.
“Edan! itu mushola juga kita-kita yang
bangun, jangan anarki lah, Mbok ya dibicarakan
dulu dengan kepala dingin sedulur-sedulur,”
Orang yang paling tua diantara mereka mencoba meredam suasana.
Ridho
tak sengaja mendengar pembicaraan mereka di warung Bu Ning, tetangganya. Niat
membeli nasi terpaksa ia urungkan demi menghindari konfrontasi.
Ia
belum siap menghadapi semua kekacauan ini.
Sepanjang
jalan fikiran Ridho tak tentu. Sekali-kali ditendangnya kerikil di sepanjang
jalan kampungnya. Sebenarnya kerikil itu ingin protes dengan membuat luka di
kaki Ridho. Tapi apa daya, permukaan dan ukurannya tak memenuhi syarat untuk
melukai kaki orang.
“Aku
harus menemui Ustadz Ahmad,” kata Ridho dalam hati.
Langkah
kaki Ridho membawanya ke mushola tempat ustadz Ahmad tinggal. Setelah mengucap
salam dan dijawab oleh yang bersangkutan. Ridho langsung menumpahkan semua
uneg-unegnya di depan ustadz Ahmad.
“Sebenarnya
apa maksud ustadz mengeluarkan fatwa ngawur
seperti itu? Panjenengan ini panutan di kampung kita, kenapa tega berbuat
seperti itu?” kata Ridho bersungut-sungut.
Keringat yang menetes dari dahinya tak
dipedulikannya. Toh bajunya sudah basah kuyup oleh keringat.
Yang
diajak bicara hanya senyum saja. Senyum yang mengundang sejuta tanda tanya.
Senyum
yang membuat Ridho semakin jengkel. Apa sih mau gurunya itu.
“Ane hanya memberikan solusi pada
masyarakat, ente keberatan Dho?”
jawab ustadz Ahmad enteng. Pandangannya tak lepas dari buku Ihya’ Ulumiddin-nya Imam Ghozali.
Ridho
semakin meradang, ketidakpahaman dan kejengkelan bercampur aduk menjadi satu.
Ia adalah murid ustadz Ahmad dan mau tak mau juga terkena imbas dari tingkah
gurunya itu. Orang tuanya melarang dia mengaji lagi ke ustadz Ahmad, takut
ketularan sesat katanya.
Penduduk
kampung ikut-ikutan mengucilkan dia.
Semua
ini semakin membuat Ridho stress.
“Bukan
kah orang-orang di kampung kita super sibuk sehingga merasa capek di malam hari
untuk sekadar sholat tarawih berjamaah di mushola?” ustadz Ahmad mulai
berargumen.
Ridho
tak bergeming dari tempatnya. Didengarnya ocehan gurunya itu tanpa ia
komentari.
“Bahkan
sholat wajib berjamaah pun sepi peminat, ente
tahu sendiri kan jamaah sholat di mushola ini hanya orang itu-itu saja,” Ustadz
Ahmad menatap muridnya.
Ridho
mengangguk mengiyakan. Dia yang bertugas sebagai muadzin sampai bosan melihat
jamaah yang tak kunjung bertambah.
Orang-orang
di kampungnya memang susah diajak ke mushola.
“Banyaknya
kemalingan di kampung sebelah juga menjadi alasan penduduk untuk tidak tarawih
di mushola! alasan keamanan menjadi dalih untuk meninggalkan sunnah di bulan
suci! tak ada yang berminat meramaikan mushola! mushola kita kalah dengan
kuburan!” kata ustadz Ahmad sambil menghela napas.
Ada
raut keprihatinan di wajahnya.
“Karena
itu ane menyuruh mereka untuk tarawih
di siang hari saja agar malamnya bisa beristirahat dan menjaga rumah. Jadi tak
ada alasan untuk tidak ke mushola. Toh kebanyakan penduduk kampung kita
menganggur jam segitu,” ustadz Ahmad mencoba memberi alasan.
Ridho
semakin bingung dengan sikap gurunya yang nyleneh
tersebut. Apa maksudnya memberi fatwa untuk tarawih di siang hari. Walau
diakuinya memang susah mengajak masyarakat kampung untuk sholat berjamaah,
terutama yang laki-laki. Apalagi sholat tarawih yang terhitung sunnah. Mereka
bilang ingin sholat di rumah saja.
Padahal
belum tentu juga mereka kerjakan.
Tapi
apakah harus tarawih di siang hari?
“Tapi
kata-kata Ustadz tidak bisa diterima dari sisi manapun, apalagi penduduk
kampung ini yang mudah tersulut emosinya.” Ridho memprotes gurunya.
“Sepertinya
kau belum menghayati cerita nabi Khidir dan nabi Musa.” Jawab sang ustadz
santai.
*
Sementara
itu di luar mushola penduduk menggelar rapat darurat untuk menentukan sanksi
apa yang akan dijatuhkan kepada ustadz Ahmad yang mereka nilai telah membuat
keruh suasana kampung.
“Ini
masalah akidah. Tak bisa seenaknya dia membuat fatwa ngawur seperti itu. Kita harus berani menentang kesesatan.” kata
pak lurah dan diamini oleh semua jajaran dan rakyatnya.
“Usir
saja ustadz kafir itu pak Lurah!” kata salah satu peserta rapat.
Dan
ternyata usul itu langsung diterima oleh forum. Saat itu juga mereka
mengerahkan massa untuk menuju mushola guna melakukan pengusiran secepatnya.
Ridho
telah mengumandangkan adzan dhuhur dan sekarang sedang membaca iqomat. Mushola
masih kosong, kecuali sang imam dan muadzinnya.
“Mulai
sholat sekarang ustadz?” tanya Ridho meyakinkan.
Yang
ditanya tak segera menjawab tapi malah memandang ke luar mushola. Terlihat
iring-iringan massa menuju mushola.
Ustadz
Ahmad tersenyum.
“Sebentar,
kita tunggu calon jamaah di luar mushola itu.” Kata ustadz Ahmad dengan mata
berbinar.
****
0 komentar: