Cerpenku Juara 1 GPN
BALADA
GARAM BLEDHUG
Matahari
terasa menyengat di ubun-ubun dan di seluruh tubuhku. Sepanjang mata memandang
hanya padang lumpur yang kulihat. Mataku mulai berkunang-kunang. Sepertinya aku
ingin beristirahat sejenak melepas lelah. Kulangkahkan kakiku menuju bekas kios
bakso dan berteduh di sana.
Pekerjaan
kali ini benar-benar membuatku lelah.
Kulihat
tetanggaku masih setia dengan pekerjaannya. Heran, masih saja mereka betah
terpanggang matahari. Padahal usia mereka terhitung tidak muda lagi.
“Pakdhe, Mbokdhe, mbok laut
rumiyin,1” teriakku pada mereka. Mengajak
istirahat.
“Ngosek le, nanggung. Kari sithik
re,2” jawab mereka serentak.
Sepertinya
mereka memang masih betah berpanas-panasan.
Seumur
hidup orang tuaku sudah mengabdikan dirinya untuk pekerjaan ini, membuat garam
di objek wisata Bledhug Kuwu. Dahulu tempat ini penuh dengan tempat pembuatan
garam. Tapi sekarang hanya tinggal empat orang yang masih setia dengan pekerjaan
itu, termasuk orang tuaku. Generasi
selanjutnya tidak tertarik meneruskan tradisi itu karena penghasilannya sangat
kecil.
Aku pun sebenarnya tidak
menginginkan pekerjaan ini.
***
Mungkin
untuk kebanyakan temanku, libur semesteran adalah nikmat yang tak terkira. Tapi
untuk anak petani garam sepertiku saat seperti ini adalah saat yang paling
menyiksa. Semakin banyak waktu yang akan kuhabiskan memanggang diri di bawah
sinar matahari Kuwu yang membakar kulit.
“Mumpung
libur le, kita harus ulet cari uang,”
kata bapakku mencoba menyemangati.
Sebenarnya
aku tidak tega melihat orang tuaku susah seperti ini. Dengan penghasilan yang
sangat pas-pasan bahkan cenderung kurang mereka berusaha menyekolahkanku sampai
SMA. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin agar aku tak bernasib sama
seperti mereka.
Itulah
yang membuatku tetap setia membantu mereka.
Setiap hari para petani garam
bekerja mulai pukul 07.00 sampai pukul 15.00. Dibawah naungan caping3, mereka mengalirkan
air yang mengandung garam dari pusat letusan gelembung lumpur Bledhug Kuwu
melalui sebuah parit kecil yang panjangnya beberapa ratus meter ke sebuah kolam
penampungan yang cukup dalam. Air dari kolam penampungan disaring kemudian
ditampung dalam sebuah kolam tertutup di sebelahnya.
Air
garam yang disebut bleng itu kemudian
dituangkan ke dalam bilah-bilah bambu yang disusun memanjang sampai puluhan
meter. Dalam sehari, air dalam bilah-bilah bambu itu diisi sampai tiga kali.
Setelah tujuh jam dalam cuaca panas, atau tiga hari dalam keadaan mendung, air
dalam bilah-bilah bambu sudah mengkristal menjadi garam. Garam itu dicuci bersih
dan dituangkan ke dalam kukusan4
untuk ditiriskan. Setelah kering, garam siap dijual.
Aku
mengamati proses itu sepanjang hidupku.
***
Minggu
lalu aku mendapat tawaran dari guruku untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja
yang diadakan kemendiknas. Tanpa berfikir dua kali aku mengiyakan tawaran
tersebut. Hari ini ingin rasanya bersilaturahim ke rumah guruku sekalian
konsultasi. Aku meminta ijin dari orang tuaku untuk tak membantunya membuat
garam. Tekadku tak terbendung lagi. Aku harus membuat perubahan.
“Jadi,
apa konsep yang ingin kau tulis dalam naskahmu itu Wan?” tanya pak Iguh,
pembimbingku.
“Tentang
budidaya garam Bledhug Kuwu pak, bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani
garam diambang kepunahan dengan mempromosikan keunggulan garam Bledhug Kuwu
yang selama ini tak banyak diketahui orang. Senyawa NaCl yang
saya konsumsi tiap hari itu ternyata kandungan Iodin-nya tinggi. Saya ingin
membuktikan hipotesis tersebut. Rencana saya ingin melakukan penelitian itu
sambil bekerja pak supaya lebih efisien.” jawabku mantab.
“Bagus,
saya suka. Sudah saatnya anak daerah mengembangkan potensi daerahnya sendiri.
Draft penelitianmu saya bawa dulu ya. Seminggu lagi datanglah ke sini,”
Aku
pulang dengan gembira. Semoga penelitianku diterima. Aku tak berharap banyak
karena pesaingku mungkin lebih hebat daripada aku, tapi di sisi lain ingin juga
penelitianku tembus sebagai finalis LKIR di Jakarta.
Rasa
ingin mengharumkan nama kabupaten Grobogan sudah terpatri dalam dadaku.
***
Malam
hari sesudah bekerja, aku dan keluargaku berkumpul sambil menikmati santap
malam sederhana. Ibuku masih mengomel tentang harga garam Bledhug Kuwu yang tak
mengalami perubahan. Satu kilogram garam dihargai Rp.2000,00 oleh tengkulak.
Sedangkan untuk wisatawan garam Kuwu dijual Rp. 1000,00 setiap seperempat
kilogram dalam kemasan plastik.
Garam
ini hanya beredar di pasar-pasar kabupaten Grobogan dan di sekitar objek wisata
bledhug Kuwu sebagai souvenir selain bleng yang dijual Rp. 1000,00 per botol
untuk obat gatal-gatal pada kulit. Sungguh mengenaskan pendapatan orang tuaku.
Aku tak bisa berharap banyak pada pemerintah kabupaten. Objek wisata Bledhug
Kuwu saja tak terurus apalagi petani garam di dalamnya.
Harapanku
saat ini hanyalah ingin menunjukkan potensi garam Kuwu melalui karya ilmiahku.
Judul
karya ilmiahku, Upaya Peningkatan Mutu
Garam Bledhug Kuwu dengan Metode Uji Noda mendapat respon positif dari pak
Iguh. Aku melakukan penelitian setelah selesai bekerja. Mengumpulkan data,
mengujinya, dan membuat laporan untuk dikonsultasikan. Sebulan aku berkutat
dengan kegiatan penelitianku. Kegiatan belajar yang sudah aktif kembali tak
membuatku menyerah untuk melakukan aktivitas ini.
Asaku
membumbung tinggi ditengah galaknya sinar matahari dan stagnasi harga garam Kuwu. Semangatku tak kan luntur hanya karena
itu. Aku janji.
***
Catatan:
1. Paman,
Bibi, istirahatlah saja dulu.
2. Nanti
saja nak, nanggung, tinggal sedikit nih.
3. Topi
dari anyaman bambu.
4. Keranjang dari anyaman bambu
berbentuk kerucut.
0 komentar: