Looking For Mr. Right. Cerpen Nominasi Lomba Cerpen Islami Ilmanafia
“Ndak,” kata itu lagi yang terucap.
Gelengan
kepala ibuku semakin mempertegas ucapannya bahwa ia tak sedang main-main. Aku
tak tahu kapan ia mau berkata “Iya” untuk hal ini. Hatiku semakin kebas
dibuatnya. Sebenarnya apa sih mau ibuku.
“Kenapa
bu’e ndak mau? Mas Toro orangnya kan
baik bu, agamanya insya Allah juga baik,” aku mencoba berpendapat.
“Nek bu’e bilang ndak yo ndak. Ora usah
ngeyel,” gertak bu’e.
“Tapi
kan harus jelas alasannya to bu’e. kenapa bu’e menolaknya?” sanggahku.
“Dia
ndak sekelas dengan kita. Bu’e ndak mau. Wis pokoke manuta bu’e,” kata bu’e,
memaksa.
Oalah,
ternyata itu alasannya, bu’e nggak
mau aku menikah dengan orang yang tak selevel. Urusan bibit, bebet dan bobot memang bukan perkara sepele bagi bu’e. Sudah berapa laki-laki yang
mencoba mendekatiku, tapi ditolak oleh bu’e.
Ya karena itu, nggak selevel. Sebenarnya level seperti apa yang diinginkan bu’e
aku pun tak paham. Aku hanya bisa sendiko
dhawuh tanpa bisa menolaknya.
Kadang
aku berpikir, kenapa aku tak bisa memilih laki-laki sebagai pendampingku
sendiri. Kukira normal saja jika aku merasa kesepian. 28 tahun, bagi
orang-orang di desaku umurku sudah telat untuk menikah. Teman-temanku rata-rata
sudah punya dua anak. Dan aku masih sendiri.
Perawan
tua, kata mereka.
Perawan
tua? Hei, siapa yang mau menjadi perawan tua? Aku pun juga tak mau. Aku juga
ingin punya keluarga. Sakit hati rasanya bila aku dibilang terlalu pemilih
dalam menentukan calon suami. Andai mereka tahu, aku sama sekali tak ribet
dengan urusan ini. yang pemilih itu orang tuaku, bukan aku.
Sama
sekali bukan aku.
Memang
dulu aku punya standar khusus dalam memilih calon suami. Wajar lah sebagai
orang yang ingin memilih pasangan pasti punya kriteria khusus. Tapi sekarang
aku sudah tak peduli dengan semua itu. Apapun yang kupilih selalu tak sreg di
hati orang tuaku. Padahal aku sudah menurunkan standar calon suamiku. Sayangnya
aku bukan orang yang berani melawan kehendak orang tua. Takut kualat, takut
nanti nggak berkah. Jadi aku selalu menurut saja apa kata orang tuaku.
Selama
itu baik, aku akan menurut.
***
“Din,
kapan kowe nikah?”
Ah,
selalu pertanyaan itu yang dillontarkan padaku. Sampai bosan aku mendengarnya.
Aku ke sini kan mencari suasana baru. Eh ternyata tak jauh beda dengan yang di
rumah.
“Kapan-kapan
kalau jodohku sudah nggak gelap,” jawabku
“Gelap
piye to? Wong yang nglamar kamu itu sudah gak keitung lho. Pilih satu saja kok
susah,”
Ah
si Tanti ini selalu menggampangkan masalah. Bukan karena aku nggak mau milih.
Nggak tahu saja masalahku. Dia enak, jodoh gampang, orang tua juga gak ruwet,
sekarang sudah punya anak satu. Enak bener hidupmu Tan. Beda dengan aku.
“Aku
ndak jadi nginep ah, diceramahin mulu,” kataku padanya.
“Eh,
aja ngono to ya. Kita ini teman satu kamar semasa mondok dulu, susah senang
ditanggung bersama. Ayo, nginep ya. sekalian nemenin Alya main. Mas Faiz pulang
telat. Jadi temenin aku ya?” bujuknya.
Aku
mengangguk. Kangen juga masa-masa di pondok dulu dengan Tanti.
Aku
menemaninya masak, momong Alya juga. Ah nyesek juga kalau lihat yang begini.
Kapan ya aku punya momongan. Halah ngawur, suami aja belum jelas mau punya
anak. Mungkin memang aku belum waktunya berumah tangga, suruh belajar dulu.
Aku
masih harus belajar untuk jadi istri dan ibu yang baik.
***
Kabarnya
hari ini ada yang mau melamarku lagi. Kabarnya? Ya memang aku sudah tidak
terlalu memperhatikannya. Ada yang melamar ya Alhamdulillah, tidak juga harus
lebih bersabar. Sudah kubilang tadi, aku sudah kebas untuk masalah ini.
Tapi
sepertinya memang ada yang mau melamarku, buktinya orang rumah kelihatan repot
sekali. Aku yang seharusnya lebih repot malah santai-santai saja. Ah biarlah.
“Ealah
nduk.., kok kamu belum siap-siap, ayo cepat, tamunya sudah datang. Kamu ini
lho, susah banget dibilangin,” seperti biasa, ibu gemar ngomel-ngomel.
Dengan
malas-malasan aku beranjak dari kasur, dandan sepantasnya demi menyenangkan
ibu. Aku kehilangan rasa deg-degan layaknya seorang gadis yang akan dilamar
seorang pemuda. Sudah berkali-kali seperti ini, ujung-ujungnya juga sama,
penolakan.
Hal
ini juga yang selalu membuatku bertanya-tanya. Orang tuaku itu agamanya bagus,
anaknya saja dipondokkan. Kenapa jodoh anak perempuannya ini malah dipersulit? Si itu nggak selevel lah, si ini kurang manteb
agamanya lah, yang sini nggak satu suku lah, yang sono kurang meyakinkan lah.
Coba
kita lihat, seperti apa penilaian orang tuaku terhadap pelamarku ini.
“Ayo
nduk, cepat, kamu itu, ganti baju suwene
pol,” ibu menggeret tanganku. Aku menurut saja. Seperti biasa.
“Nah,
ini anak kami. Andini.” Bapak memperkenalkanku pada keluarga lelaki di
hadapanku itu.
“Nazrul,”
katanya sopan, sambil menelungkupkan tangan.
Aku
mengangguk malu. Kuberanikan mencuri pandang padanya. Pandangan kami bertemu
sekian detik. Kualihkan pandanganku ke wajah ayahku yang sedang berbicara.
Aneh, ada yang bergetar di dalam dadaku. Sudah lama aku tidak merasa seperti
ini.
Mungkinkah
dia jodohku kali ini?
“Jadi,
nak Nazrul ini mengajar di mana?,” tanya bapakku.
“Ponpes
Nurul Hidayah Pak,”
“Nurul
Hidayah?,” terdengar nada tak enak dalam suara bapak. Kenapa lagi ini.
Setelah
itu bapak permisi ke belakang, sekalian menyeret aku dan Ibu. Rapat dadakan.
“Kita
nggak bisa nerusin proses ini Bu, keluarga kita beda aliran dengan keluarga pak
Nazril,”
“Iya,
tadi katanya nak Nazrul kan aktivis organisasi yang jelas beda dengan kita,”
“Jadi
kesimpulannya?,” tak tahan aku menyela debat orang tuaku ini.
“Maaf
Nduk, kita tidak bisa menerima lamaran ini,” jawab mereka serentak.
Ah,
sudah kuduga akan seperti ini lagi.
***
Sekarang
aku benar-benar malas membicarakan pernikahan. Yang kupikir saat ini adalah
melanjutkan hidupku dengan sesuatu yang bermanfaat. Selain mengajar di MTs dan
TPA di kampungku, aku mencoba-coba untuk menulis. Banyaknya kegalauan yang
kuhadapi ditambah diriku yang introvert semakin membuatku betah menulis.
Tiba-tiba
aku dikejutkan dengan kedatangan Alya dan keluarganya ke rumahku. Temanku satu
ini memang selalu hadir pasca kegagalanku untuk menikah, yang sudah sekian
kali.
“Din,
sowan yuk ke pondok, sudah lama ndak ketemu bu Nyai,” ajaknya.
Aku
merenung. Benar juga, sudah lama aku tak ke sana. Mungkin sekali-kali aku juga
butuh refreshing. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakannya.
“Okelah,
lumayan dapat tumpangan gratis, hehe,”
Hari
itu juga aku ikut Alya sowan ke ndalem bu Nyai. Jadilah aku satu mobil dengan
keluarga bahagia ini. Suami Alya ini dulu juga temanku satu angkatan di pondok.
Jodoh memang tak jauh dari sana. Kecuali aku, tentunya.
Satu
jam perjalanan, kita sudah sampai ke pondok. Aku dan Alya serta si kecil langsung
menuju ndalem ngandhap, tempat
tinggal bu Nyai serta beberapa santriwati. Mas Faiz berjalan ke arah yang
berbeda, di ndalem nginggil, tempat
Romo Kiai tinggal. Setelah itu, kita dijamu di ndalem tengah, ruangan semacam aula. Seperti reuni saja.
“Wah,
jadi Nak Faiz dan Nak Alya sudah punya momongan satu ya? ndak terasa, dulu
kalian masih sama-sama ngaji di sini,”
“Nggih
Romo Kiai. Alhamdulillah, semoga menjadi anak yang sholeh, menegakkan agama
Allah, mohon doanya Romo Kiai,” jawab Mas Faiz, dijawab dengan anggukan Romo
Kiai.
“Ini
Nak Andini kan? Santriwati teladan di angakatannya dulu. Mana keluargamu?
Kenapa pas nikah ndak ngundang keluarga Pondok?,”
Deg.
Pertanyaan yang sama sekali tak kuharapkan. Bingung harus bagaimana
menjawabnya. Tapi aku tidak mungkin berbohong pada Romo Kiai.
“Emm..
saya masih sendiri Romo Kiai,” akhirnya kalimat itu terucap juga.
Orang
tua di depanku itu terlihat bingung, sampai mengerutkan dahinya.
“Masih
sendiri? Serius? Apa lagi yang kau pikirkan Nduk? Temanmu ini sudah punya
momongan, kenapa masih sendiri?,”
“
Sepertinya Allah belum menampakkan jodoh saya Romo Kiai,”
***
“Iya,”
Jawaban
orang tuaku sungguh membuatku syok. Tak percaya akhirnya mereka menerima
lamaran laki-laki di depanku ini. Dia Iqbal, meskipun putra Romo Kiai, tapi
jauh dari kesan santri. Kaos oblong, celana jins pucat, jaket kulit. Yang
kutahu hobby-nya dulu memutar lagu Bon Jovy, Linkin Park, atau Green Day
keras-keras. Sampai terdengar di pondok putri. Meskipun aku mengauminya, aku
tak pernah berharap dia jadi suamiku. Paling juga ditolak orang tuaku.
Tapi
sekarang?
“Jadi
kapan kiranya pernikahan ini diselenggarakan Romo Kiai?,” bapakku bertanya pada
kiai sepuh yang sangat diseganinya sejak dulu.
“Lebih
cepat lebih baik, segera diresmikan saja. Besok lusa insya Alloh lebih baik,”
jawabnya mantab.
“Alhamdulillah,
sebentar Romo Kiai, saya ke belakang dulu,” bapak memberi isyarat padaku, aku
mengikutinya.
Seperti
biasa, rapat dadakan. Sekarang aku yang bengong, tak tahan aku bertanya pada
orang tuaku. Apa alasan orang tuaku menerima laki-laki itu. Bukankah jauh
sekali dari tipenya? Ke mana bibit bobot bebet itu?
“Jangan
menilai orang dari luarnya Nduk. Sebenarnya sebagian kriteria menantu pilihan
bapak ada di nak Iqbal, dan sudah lama sekali bapak pengen besanan sama kiai,
sudahlah kamu manut saja sama pilihan bapak,”
Oh jadi sebenarnya orang tuaku dulu
ngincernya mas Iqbal. Huh, bilang kek dari dulu. Aku juga tak kan menolak.
Kenapa membiarkanku menggalau dengan jodohku yang tak kunjung datang.
Lamaran kali ini sepi, tak ada
keramaian. Tapi akhirnya, aku, Andini Dwita Zahroh, menemukan jodohnya. Jangan
lupa datang ya di pernikahanku besok lusa, akan kuceritakan bagaimana mas
Iqbal-si cowok misterius-itu sebenarnya. Dia baik dan sholeh kok, kalian jangan
khawatir.
Sudah ya, aku mau menyiapkan
hidangan untuk calon keluargaku dulu.
***
1 komentar: