Suka Duka PPL
Numpang curhat ya
temans, maaf harus menjadikan kalian korban curhatan absurdku ini, jiah.
Bangun tidur kuterus
ngetik, anggap saja aku sedang ngobrol bersama kalian. Nggak ada yang kuajak
cerita di sini. Kalau sama anak-anak PPL paling cerita mereka juga sama. Jadi merek
males dengerin aku.
Hari ini aku habis
marah-marah di kelas, satu jam pelajaran Cuma kuhabiskan untuk ceramah.
Entahlah apa hari ini sajen di kelasku kurang atau aku lupa membaca ayat kursi,
semua serba tak terkendali. Sampai nangis aku, bukan nangis batin lagi, udah
benar-benar nangis ngis ngis.
***
Cerita dulu, PPL tahun
ini aku ditempatkan di sebuah sekolah menengah pertama bernama SMP N 2 Sawit,
Boyolali. Yah, setengah jam dari kampusku. Sepertinya sih dekat ya, dekat kota,
Solo lagi, tapi jangan salah, tampilan bisa menipu.
Untuk gedung ya memang
gak jelek-jelek banget, Cuma sempit, kata guru pamongku malah lebih layak jadi
SD Inpres daripada SMP. Kantin Cuma satu di belakang kamar mandi. Pertama syok
sih, pantes pas pertama kali ke sini sensasi baunya selang-seling. Seng…..
soto…. Seng…kamar mandi. Yah begitulah. Eh tapi lama-lama mau gak mau aku juga
makan di situ. Soto satu mangkok, tempe satu, plus es the Cuma 2000 rupiah cin!
Suruh nraktir murid satu kelas pun oke-oke saja. Enak lho soto sewu-nya itu.
Karena background-ku
pecinta buku dan sempat kerja di perpus, tentu saja bangunan itu tak akan
kulewatkan. Gedung sebenarnya bagus, tapiiiiii….. eng ing eng… susunan bukunya
semrawut! Gak ada yang namanya klasifikasi buku. Mau buku paket, novel, buku
masak-masakan, teknologi semuanya nyampur seperti gado-gado. Gado-gado sih enak
ya, tapi kalau buku? Lah gimana mau ngajak anak mencintai buku kalau keadaan
bukunya sudah bikin pusing.
Tambah syok lagi ketika
aku ingin membaca koran. Koran yang di meja memang baru, tapi sedang dibaca
orang, ya aku nyari yang lainnya dong, paling juga koran-koran kemarin kan, gak
lama-lama banget. Tapi sepertinya aku terlalu berkhuznuzon, koran yang
disampirkan itu bertahun 2011. Awal-awal bulan lagi. Duh biyuuungg…help me, aku
bisa gila di sini.
Karena tak tahan dengan
keadaan ini, aku dan temanku berinisiatif menata rak buku. Satu rak dulu lah,
setidaknya buku paket itu bisa rapi dan terklasifikasi. Mungkin di situ aku
orang yang paling banyak komentar, cerewet abis. Yah, mau gimana lagi, aku gak
tahan lihat buku gak teratur gitu. Alhamdulillah sampai pulang kita berhasil
menata satu rak. Satu rak itu pun sudah banyak makan korban, seperti baju
temanku yang robek karena kecantol rak dan aku yang flu sampai sekarang karena
debunya banyak. Kelihatan gak dirawat banget. teman-temanku yang lain gak nggagas
hal ini. Tapi aku sudah bilang ini akan kumasukkan program PPL. Pokoknya keluar
dari sekolah ini gak ada lagi buku gado-gado. Mungkin memang sudah takdirku
sebagai penyelamat perpus *eh.
Sempat kutanyakan
kepada tugas perpus, kenapa nggak ada klasifikasi buku. Jawabannya diplomatis
“Nanti juga bakalan diorak-arik sama anak-anak lagi mbak,”
“Nanti juga bakalan diorak-arik sama anak-anak lagi mbak,”
Hello.. terus tugas
anda-anda ini ngapain Pak, Bu?
Tiba-tiba aku teringat
jaman SMP dan SMA di Grobogan sana. Grobogan yang kebanyakan gak dikenal dan
dianggap ndeso ternyata lebih dan lebih canggih daripada kota yang dekat dengan
Solo ini. Dulu sudah ada kartu anggota perpus dan kartu peminjam, klasifikasi
bukunya oke. Pokoknya di perpus itu betaaahhh banget. Apalagi jaman SMA,
perpusnya lebih enak lagi. model minjamnya sudah pakai scanner, koleksi bukunya
banyak. Aku mengenal novel-novel fiksi juga dari perpus SMA ku itu. Seperti
laskar pelangi dan buku-buku Tere Liye. Belum lagi ruangannya yang ber-AC., TV
LCD. Pantas saja perpusku masuk 5 besar perpus terbaik se-propinsi, dan itu ada
di Grobogan.
Lepas dari itu semua
sekolah tempat aku PPL ini mempunyai guru-guru yang super baik bak malaikat.
Kepala sekolahnya juga enak banget, mau duduk bareng sharing dengan anak-anak
PPL. Jarang sekali ada kepala sekolah seperti itu. Sampai satpam, tukang kebon,
ibu kantin pun baik. Sangat njawani dan ngajeni (menghormati) anak-anak PPL.
Dihuni oleh guru-guru
bak malaikat bukan berarti murid-muridnya seperti malaikat juga. Mereka ituu…
hell boy and hell girl. Ya nggak semua sih, tapi banyak yang nakal sih, jadi ya
yang baik nggak kelihatan. Pertama penyerahan ke sekolah ini kepala sekolah
sampai pak satpam sudah memberi alarm.
“Harap sabar ya Mbak
dan Mas, murid di sini jauh dari yang anda bayangkan,”
Kalimat yang membuatku
ketar-ketir. Apalagi kalau dengar ceritanya kakak tingkat yang PPL di sini.
Sarannya sama, kita harus sabar. Sebenarnya ada apa coba? Hem hem…
Pertama kali observasi
kelas aku jadi tahu alasan pak kepsek memberi alarm. Haduh ibu.. ini kelas apa
medan perang. Ada guru di depan tapi kelakuan seperti kaum bar-bar. Mending ya
kalau mereka itu pintar. Baru kusadari SDM murid di sekolah ini rendah, benar
seperti apa yang dikatakan guru-guru di sini. Percaya nggak kelas 2 SMP nggak hafal
angka 1-10 dalam bahasa inggris? Nggak hafal hari? Murid TK ku aja 1-20 hafal!
Apalagi Cuma hari dan bulan. Satu semester mengajar di TK jelas nggak bisa jadi
pembanding. Tapi itu lah kenyataannya. Kosa kata pun hampir belum menguasai.
Contoh sederhana kata “difficult” aja nggak ngerti. Ah jangan jauh-jauh ke
difficult. 5 W+1 H aja nggak tahu artinya. Nggak lucu banget deh harus nerangin
lagi apa arti what, who, when, where, why dan how. Tapi aku ngelakuin itu. Aku
jadi membandingkan lagi, jaman SMP ku nun jauh di Grobogan sana murid-muridnya
nggak kayak gini sob, itu 7 tahun yang lalu lho. Belum kenal internet waktu
itu. Dan sekarang aku Boyolali yang dekat dengan Solo, harusnya mereka bisa
lebih dari jamanku.
Menugaskan mencari
materi di internet pun susah mereka pahami. Google itu apa bu? Gubrakk.. aku
pikir aku sudah benar mengucapkan kata Google di sini, aku pikir aku salah jika
mengucapkan goole di pedalaman Papua sana. Haii… ini Boyolali, Jawa Tengah,
dekat Solo lagi. Ternyata aku masih salah juga. Kill me beb….
Oke, nggak masalah kalau
kendala mereka di materi pelajaran, asal sikapnya manut-manut. Manut? Mimpi
kali ye di sekolah ini menjumpai murid yang manut. Kami harus ekstra sabar jika
menjelaskan sesuatu. Nggak bakal didengarkan dengan serius. 5x menjelaskan pun
kadang masih aja bertanya “Bu, ini suruh ngapain sih?,” makanya jangan ramai
aja, heuu…
Suasana di kelas
seperti di sinetron alay and uneducated pokoe. Mungkin ini karena efek tontonan
yang nggak mendidik itu. Dari yang ngerjain temen, kursi dikasih lem, sampai
melempar guru dengan kertas atau kalau apes dijepret karet. Aku mengalaminya,
apalagi aku Cuma guru PPL, udah nggak ada harganya deh.
“Kamusnya kenapa tidak
dibawa sayang,” tanyaku lemah lembut penuh kasih sayang.
“Masalah buat elo?,”
jawabnya dengan muka nyebelin.
Terus gue harus
ngelempar kamus sampai guling-guling gitu? Nggak mungkin kan? Atau aku keluar
aja, nanti kalau ditanya “Kenapa nggak ngajar Bu?,” akan kujawab “Masalah buat
elo?,”. Terus apa bedanya dong aku sama mereka?
“Nah, ternyata gampang
kan bahasa Inggris itu?,” kataku dengan niat memotivasi.
“Terus gue harus bilang
wow gitu?,” jawaban dari niat motivasi itu.
Sepanjang pelajaran
mereka nggak mau duduk manis. Lari sana-sini, keluar masuk tanpa ijin. Nggak
mau dengerin tapi kalau ditanya nggak bisa. Suruh maju nulis malah jadi gaduh,
coret-coretan spidol sama temennya, duduk di kursi guru. Jawaban teman dihapus.
Sampai temanku yang observasi turun tangan, harusnya dia nggak boleh ikut
campur dan Cuma mengamati. Tapi karena melihat aku dibully seperti itu, keluar
deh sifat aslinya sebagai anak Mapala.
Aku menggebrak papan
tulis. Asal tahu saja, aku keren bisa seperti ini. Aku kan biasanya nggak bisa
marah. Sejam kugunakan untuk ceramah tok. Kubilang ke mereka untuk ingat orang
tuanya yang susah payah nyekolahin. Sudah tahu kalau yang sekolah di sini anak
menengah ke bawah, bisa-bisanya mereka nggak menghargai orang tuanya. Jam
segitu yang petani masih panas-panas di sawah, yang buruh pabrik masih
berjibaku dengan kerjaannya, yang jualan di pasar masih susah cari duit, semua
itu kan buat anaknya. Emang bisa mereka cari duit? Mereka kan masih minta. PD
banget balesannya seperti itu. Ah, mereka belum bisa diajak berpikir seperti
itu. Nanti lah kalau mereka merasakan bagaimana sakit hatinya dicuekin saat
kita sedang berbicara. Hukum timbal balik berlaku lho *ngancaaam..
Itu sih masih mending
banget banget. separah-parahnya kelas VIII masih parah kelas VII. Untung aku
nggak ngampu kelas VII. Banyak lagi kata-kata yang seharusnya nggak pantas
mereka ucapkan untuk seusia dan status mereka sebagai pelajar. Ini terjadi di
kelas VII, masih ada bau SD nya.
Percaya nggak kalau
anak SMP berkata seperti ini?
“Bu, M* yukk,”
“Awas lho bu, tak
so*d*m* nanti!,”
“Dasar guru baj*ng*n,”
Astaghfirullah.. ibuku
aja nggak percaya, maklum adat di desaku itu anak desa manut-manut. Ini sih
kelainan buk, sudah terkontaminasi.
Nggak heran juga kalau
ada guru yang sampai tega menghukum fisik, keadaan di lapangan emang horror
gitu sih. Mungkin saking jengkelnya. Tapi pasti yang disalahin mesti gurunya,
aturannya kan anak gak boleh disalahkan. Orang tua pasti juga marah-marah.
Nggak tahu aja kelakuan anaknya gimana di sekolah. Dilema jadi guru…
Entahlah keadaan sempat
ini membuatku tertekan. Sudah gila tiap malam dengan RPP dan media, sudah nggak
kehitung uang buat fotokopi dan ngeprint, sampai sekolah kertas materi fotokopi
dan vocab card yang sudah kubuat dengan kasih sayang bermutasi menjadi pesawat
terbang yang sengaja diarahkan padaku. Mereka itu sebenarnya kreatif, tapi
salah tempat. Seminggu aku hampir nggak nafsu makan. Minum susu aja kalau sempat.
Sampai aku memotong rambutku sendiri *ekstrim, gila banget. Yah, aku berfikir
aku belum berhasil menjadi guru, aku belum menjadi guru yang menyenangkan,
kenapa temanku bisa mengendalikan kelas sedangkan aku tidak? Frustasi banget.
Nggak keluar kamar, nggak nulis, nggak ngerjain skripsi, males kuliah, nggak
kerja. Lebay banget ya, entahlah. Mungkin aku belum ikhlas melakukannya. Intropeksi
diri, dan aku harus berusaha untuk lebih baik lagi!
Tapi aku bersyukur juga
ditempatkan di sekolah yang “sesuatu banget” seperti tempat PPL ku ini.
Challenging banget. Ketika teman-teman yang lain mendapat tempat PPL di sekolah
bonafit, full fasilitas, wi-fi an sesuka hati, ngajar pakai LCD, aku harus
sekreatif mungkin dalam membuat media mengajar. Nggak ada LCD, kertas pun jadi.
Aku nggak boleh bawa-bawa sifat sedikit-sedikit power point, sedikit-sedikit
LCD. Guru harus bisa mengajar di mana saja dan apapun keadaannya. Iya nanti
kalau takdir menempatkan kita di sekolah favorit, kalau tiba-tiba dilempar di
pelosok Kalimantan, NTT, Papua, dsb? Masa iya mau ngajar di hutan pakai LCD?
Keadaan ini membuatku berpikir, betapa mulianya para relawan mengajar di sana.
Aku nggak ada apa-apanya di sini. Jauuuhh banget.
Ketika teman-teman lain
mendapat murid-murid yang pintar, gampang, manut, aku di sini harus berusaha
membuat mereka beradab lebih dahulu. Aku sebagai guru nggak hanya mengajar,
tapi juga mendidik. Di sini aku diberi kesempatan untuk mendidik. Aku percaya,
mereka nggak nakal, hanya kurang bimbingan. Mereka nggak bodoh, hanya kurang
motivasi. Di sini aku belajar menjadi “sesuatu” buat mereka. Walau terkadang
motivasi ku pun naik turun. Tapi melihat mereka memakai seragam seperti itu,
seperti ada tanggung jawab yang besar di pundakku, membuka lebar mataku bahwa
kita nggak bisa menyamaratakan kemampuan peserta didik di seluruh negeri. Ah
tapi kebijakan orang-orang yang di atas sana sungguh menyebalkan. Target lulus
UN 100% bagaimanapun keadaannya. Nah, ini kan membuat orang mengahalalkan
segalan cara. Siswa di Jakarta nggak sama seperti di Boyolali, nggak sama
seperti di pedalaman Nias, nggak sama seperti di Yampen warompen. Mana mungkin
orang-orang itu peduli? Kalau sekolahnya nggak bisa meluluskan 100% kepala
sekolah atau guru yang dimutasi. Apa salah mereka coba? Lha wong keadaan di
lapangan juga susah begitu. Pendidikan di Indonesia memang masih belum imbang.
Aku senang punya
teman-teman yang bisa buatku ketawa. Walau sebagian dari mereka belum kutemui,
ada Eva yang gak bosen sms memotivasi aku, ada mbak Valin yang gak bosen nerima
curhatan nggak pentingku, ada Mas Mono yang suka sms gak jelas, dan parahnya
aku ikutan nggak jelas juga. Sewaktu membuka twitter banyak juga twit dari
teman yang buatku ketawa, di FB ngakak-ngakak nggak jelas lihat status
detik.com-nya mas Chogah sama Ayka. Geleng-geleng kepala dengan narsisnya mas
Mono, coverboy STODY. Senyum sendiri membaca 4 anggota geng penulis narsis,
walau aku nggak ikutan komen. Ada juga Ayu yang percikannya dimuat lagi di
Gadis *siap-siap memalak. Dia yang suka nraktir orang, sedikit meluapakn
stress. Haha tengkyu Ayu. Teman-teman seperjuangan PPL, terutama tukang
ojeg-ku, Luph U Heni. bersyukur juga masih dapat charger motivasi dari
guru-guruku, ustadz ustadzahku ketika aku futur. Dan tentunya doa dari orang
tuaku di kampung sana yang tak henti-hentinya. Telepon dari mereka membuatku
kuat. Juga dari masku yang gak lupa selalu menanyakan kabarku dan mendoakan dan
tentu yang paling penting sering ngasih uang. Hahaha. Dan semua yang tak bisa
kusebutkan di sini, nanti jadi panjang seperti persembahan skripsi.
Terima kasih sudah
menyempatkan membaca curhatan absurdku ini, maap kalau nyampah ya *aku sedang
korslet, mohon maklum.
Salam sayang dariku,
Impian Nopitasari
0 komentar: